1. Teori Korespondensi (Kebenaran Faktual)
Rumusan teori
korespondensi tentang kebenaran ini bermula dari Aritoteles (384-322 S.M.) dan
disebut teori penggambaran yang definisinya berbunyi sebagai berikut :
“VERITAS EST ADAEQUATIO INTELCTUS
ET RHEI”
[kebenaran adalah persesuaian
antara pikiran dan kenyataan].
Kemudian
teori korespondensi ini dikembangkan oleh Bertrand
Russel (1872-1970). Ujian kebenaran yang dinamakan teori korespondensi
adalah paling diterima secara luas oleh kelompok realisme dan materialisme.
Teori ini berprinsip pada pemikiran Induksi, yaitu pengambilan kesimpulan dari
Umum ke Khusus. Kebebaran diperoleh setelah diadakan pengamatan dan pembuktian
(Observasi dan Verifikasi).
Menurut teori
ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita obyektif (fidelity to objective
reality). Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan
fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi yang
pertimbangan itu berusaha untuk melukiskan, karena kebenaran mempunyai hubungan
erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu
(Titus, 1987:237).
Jadi, secara
sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi suatu
pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu
berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan
tersebut (Suriasumantri, 1990:57). Misalnya jika seorang mahasiswa mengatakan
“kota Yogyakarta terletak di pulau Jawa” maka pernyataan itu adalah benar sebab
pernyataan itu dengan obyek yang bersifat faktual, yakni kota Yogyakarta memang benar-benar berada di
pulau Jawa. Sekiranya orang lain yang mengatakan bahwa “kota Yogyakarta berada
di pulau Sumatra” maka pernnyataan itu adalah tidak benar sebab tidak terdapat
obyek yang sesuai dengan pernyataan terebut. Dalam hal ini maka secara faktual
“kota Yogyakarta bukan berada di pulau Sumatra melainkan di pulau Jawa”.
Menurut teori
koresponden, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung
terhadap kebenaran atau kekeliruan, oleh karena atau kekeliruan itu tergantung
kepada kondisi yag sudah ditetapkan atau diingkari. Jika sesuatu pertimbangan
sesuai dengan fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak, maka pertimbangan
itu salah (Jujun, 1990:237).
2. Teori Koherensi (Kebenaran Rasio)
Berdasarkan
teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren
atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar
(Jujun, 1990:55)., artinya pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat
konsisten dengan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang
koheren menurut logika.
Misalnya, bila
kita menganggap bahwa “semua manusia pasti akan mati” adalah suatu pernyataan
yang benar, maka pernyataan bahwa “si Hasan seorang manusia dan si Hasan pasti
akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan
pernyataan yang pertama.
Seorang sarjana
Barat A.C Ewing (1951:62) menulis tentang teori koherensi, ia mengatakan bahwa
koherensi yang sempurna merupakan suatu ideal yang tak dapat dicapai, akan
tetapi pendapat-pendapat dapat dipertimbangkan menurut jaraknya dari ideal
tersebut. Sebagaimana pendekatan dalam aritmatik, dimana pernyataan-pernyataan
terjalin sangat teratur sehingga tiap pernyataan timbul dengan sendirinya dari pernyataan tanpa berkontradiksi dengan
pernyataan-pernyataan lainnya. Jika kita menganggap bahwa 2+2=5, maka tanpa
melakukan kesalahan lebih lanjut, dapat ditarik kesimpulan yang menyalahi tiap
kebenaran aritmatik tentang angka apa saja.
Kelompok
idealis, seperti Plato (427-347 S.M.) juga filosof-filosof modern seperti
Hegel, F. H. Bradley (1864-1924) dan
Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan begitu maka
tiap-tiap pertimbangan yang benar dan
tiap-tiap sistem kebenaran yang parsial bersifat terus menerus dengan
keseluruhan realitas dan memperolah arti dari keseluruhan tersebut (Titus,
1987:239). Meskipun demikian perlu lebih dinyatakan dengan referensi kepada
konsistensi faktual, yakni persetujuan antara suatu perkembangan dan suatu
situasi lingkungan tertentu.
3. Teori Pragmatik
Teori
selanjutnya adalah teori pragmatisme tentang kebenaran. Pragmatisme berasal
dari bahasa yunani pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan,
tindakan.
Teori pragmatik
dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit
pada tahun 1878 yangberjudul “How to Make Ideals Clear”. Teori ini kemudian
dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsaan
Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika.
Ahli-ahli filasafat ini di antaranya adalah William James (1842-1910), John
Dewey (1859-1952), George Hobart Mead (1863-1931) dan C.I. Lewis (Jujun,
1990:57)
Pragmatisme
menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Bagi mereka
ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability)
atau akibat yang memuaskan (Titus,
1987:241), Sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang
mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar
dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan
pragmatis adalah logika pengamatan dimana kebenaran itu membawa manfaat bagi
hidup praktis (Hadiwijono, 1980:130) dalam kehidupan manusia.
Kriteria
pragmatisme juga dipergunakan oleh ilmuan dalam menentukan kebenaran ilmiah
dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang
dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan
masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis selama pernyataan itu
fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, sekiranya
pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu
sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan
(Jujun, 1990:59), demikian seterusnya. Tetapi kriteria kebenaran cenderung
menekankan satu atau lebih dati tiga pendekatan (1) yang benar adalah yang
memuaskan keinginan kita, (2) yang benar adalah yang dapat dibuktikan dengan
eksperimen, (3) yang benar adalah yang membantu dalam perjuangan hidup
biologis. Oleh karena teori-teori kebenaran (koresponden, koherensi, dan
pragmatisme) itu lebih bersifat saling menyempurnakan daripada saling bertentangan,
maka teori tersebut dapat digabungkan dalam suatu definisi tentang kebenaran.
kebenaran adalah persesuaian yang setia dari pertimbangan dan ide kita kepada
fakta pengalaman atau kepada alam seperti adanya. Akan tetapi karena kita
dengan situasi yang sebenarnya, maka dapat diujilah pertimbangan tersebut
dengan konsistensinnya dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang kita anggap
sah dan benar, atau kita uji dengan faidahnya dan akibat-akibatnya yang praktis
(Titus, 1987:245).
4. Teori Kebenaran Performatif
Teori ini
menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang otoritas
tertentu. Contoh pertama mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian muslim di
Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan
sebagian yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu.
Contoh kedua adalah pada masa rezim orde lama berkuasa, PKI mendapat tempat dan
nama yang baik di masyarakat. Ketika rezim orde baru, PKI adalah partai
terlarang dan semua hal yang berhubungan atau memiliki atribut PKI tidak berhak
hidup di Indonesia. Contoh lainnya pada masa pertumbuhan ilmu, Copernicus
(1473-1543) mengajukan teori heliosentris dan bukan sebaliknya seperti yang
difatwakan gereja. Masyarakat menganggap hal yang benar adalah apa-apa yang
diputuskan oleh gereja walaupun bertentangan dengan bukti-bukti empiris.
Dalam fase
hidupnya, manusia kadang kala harus mengikuti kebenaran performatif. Pemegang
otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin agama, pemimpin adat,
pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran performatif dapat membawa kepada
kehidupan sosial yang rukun, kehidupan beragama yang tertib, adat yang stabil
dan sebagainya.
Masyarakat yang
mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis dan rasional.
Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti kebenaran dari
pemegang otoritas. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya masih sangat patuh
pada adat, kebenaran ini seakan-akan kebenaran mutlak. Mereka tidak berani
melanggar keputusan pemimpin adat dan tidak terbiasa menggunakan rasio untuk
mencari kebenaran.
5. Teori Kebenaran Konsensus
Suatu teori
dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau perspektif
tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung paradigma
tersebut.
Banyak
sejarawan dan filosof sains masa kini menekankan bahwa serangkaian fenomena
atau realitas yang dipilih untuk dipelajari oleh kelompok ilmiah tertentu
ditentukan oleh pandangan tertentu tentang realitas yang telah diterima secara
apriori oleh kelompok tersebut. Pandangan apriori ini disebut paradigma oeh
Kuhn dan world view oleh Sardar. Paradigma ialah apa yang dimiliki bersama oleh
anggota-anggota suatu masyarakat sains atau dengan kata lain masyarakat sains
adalah orang-orang yang memiliki suatu paradigma bersama.
Masyarakat
sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena adanya paradigma. Sebagai
konstelasi komitmen kelompok, paradigma merupakan nilai-nilai bersama yang bisa
menjadi determinan penting dari perilaku kelompok meskipun tidak semua anggota
kelompok menerapkannya dengan cara yang sama. Paradigma juga menunjukkan
keanekaragaman individual dalam penerapan nilai-nilai bersama yang bisa
melayani fungsi-fungsi esensial ilmu pengetahuan. Paradigma berfungsi sebagai keputusan
yuridiktif yang diterima dalam hukum tak tertulis.
Pengujian suatu
paradigma terjadi setelah adanya kegagalan berlarut-larut dalam memecahkan
masalah yang menimbulkan krisis. Pengujian ini adalah bagian dari kompetisi di
antara dua paradigma yang bersaingan dalam memperebutkan kesetiaan masyarakat
sains. Falsifikasi terhadap suatu paradigma akan menyebabkan suatu teori yang
telah mapan ditolak karena hasilnya negatif. Teori baru yang memenangkan
kompetisi akan mengalami verifikasi. Proses verifikasi-falsifikasi memiliki
kebaikan yang sangat mirip dengan kebenaran dan memungkinkan adanya penjelasan
tentang kesesuaian atau ketidaksesuaian antara fakta dan teori.
Pengalih
kesetiaan dari paradigma lama ke paradigma baru adalah pengalaman konversi yang
tidak dapat dipaksakan. Adanya perdebatan antar paradigma bukan mengenai
kemampuan relatif suatu paradigma dalam memecahkan masalah, tetapi paradigma
mana yang pada masa mendatang dapat menjadi pedoman riset untuk memecahkan
berbagai masalah secara tuntas. Adanya jaringan yang kuat dari para ilmuwan
sebagai peneliti konseptual, teori, instrumen, dan metodologi merupakan sumber
utama yang menghubungkan ilmu pengetahuan dengan pemecahan berbagai masalah.
Referensi: Buku Filsafat Ilmu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar