Menurut pendapat Ibnu Sina, jiwa manusia merupakan satu unit
yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul
dan tercipta tiap kali ada badan yang sesuai dan dapat menerima jiwa lahir di
dunia ini. Sungguhpun jiwa manusia tidak
mempunyai fungsi-fungsi fisik, dengan
demikian tidak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang
berpikir, yakni jiwa yang masih berhajat pada badan.
Pendapatnya juga searah dengan Aristoteles, Ibnu Sina
menekankan eratnya hubungan antara jiwa dan raga, tetapi semua kecenderungan
pemikiran Aristoteles menolak suatu pandangan dua subtansi, dua subtansi ini di
yakininya sebagai bentuk dari dualisme radikal. Sejauhmana dua aspek doktrinnya
itu bersesuaian merupakan suatu pertanyaan yang berbeda, tentunya Ibnu Sina
tidak menggunakan dualismenya untuk mengembangkan suatu tinjauan yang sejajar
dan kebetulan tentang hubungan jiwa raga. Menurut Ibnu Sina, hal ini adalah
cara pembuktian yang lebih langsung tentang subtansialitas nonbadan, jiwa, yang
berlaku bukan sebagai argumen, tetapi sebagai pembuka mata.[13] Jiwa manusia ,
sebagai jiwa-jiwa lain segala apa yang terdapat di bawah bulan, memancar dari
Akal kesepuluh.[14] Kemudian Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bahagian :
i. Jiwa
tumbuh-tumbuhan (an-Nafsul Nabatiyah),
yakni meliputi beberapa daya;
1. Makan
(nutrition),
2. Tumbuh (Growth),
3. Berkembang biak
(reproduction)
ii. Jiwa binatang
(an-Nafsul Hayawaniah), yakni meliputi bebrapa daya;
1. Gerak
(locomotion),
2. Menangkap
(perception).
Dua daya ini dibagi lagi menjadi dua bahagian :
a. Menangkap
dari luar (al-Mudrikah minal kharij) dengan pancaindera.
b. Menangkap dari
dalam (al-Mudrikah minad dakhil) dengan indera-indera yang meliputi : 1) Indera
bersama yang menerima segala apa yang dirangkap oleh pancaindera, 2)
Representasi yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama, 3) Imaginasi yang
menyusun apa yang disimpan dalam representasi, 4) Estimasi yang dapat manangkap
hal-hal abstrak yang terlepas dari materinya, umpama keharusan lari bagi
kambing dari anjing srigala, 5) Rekoleksi yang menyimpan hal-hal abstrak yang
diterima oleh estimasi.
iii. Jiwa manusia
(an-Nafsul Natiqah) meliputi dua daya ;
Praktis
(practical) yang hubungannya adalah dengan badan.
Teoritis
(theoritical) yang hubungannya adalah dengan hal-hal abstrak.[15]
Dengan demikian, sifat seseorang bergantung pada jiwa mana
dari ketiga macam jiea tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh
pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berkuasa pada
dirinya, maka orang itu dapat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia
(an-Nafsul Natiqah) yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat
menyerupai Malaikat dan dekat pada kesempurnaan.
Ibnu Sina, meski ia seorang dokter, namun ia sadar bahwa
penjelasan mengenai jiwa bukan tugas seorang dokter dan tidak masuk dalam
disiplin ilmu tersebut. Oleh karenanya dalam al-qur’an di jelaskan beberapa
pertanyaan yang berkaitan dengan jiwa beserta berbagai potensinnya, yang mana
para dokter dan filosof berbeda pendapat dalam hal ini. Oleh sebab itu, Ibnu
Sina mengatakan bahwa maalah jiwa adalah urusan filosof. Pengaruh Ibnu Sina
dalam soal kejiwaan ini tidak dapat diremehkan, baik pada dunia pikir Arab
sejak abad 10 M. Sampai akhir abad 19 M, maupun pada filsafat scholastik Yahudi
dan Masehi terutama tokoh-tokohnya, seperti: Gundisalus, Guillaume, Albert Yong
Agung, St. Thomas Aquinas, Roger Bacon, dan Duns Scotf, serta berhubungan
dengan pemikiran Descartes tentang hakikat dan adanya jiwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar