Kematian sebagai “Masalah”
Jadi, apa yang membuat kematian
menjadi suatu “masalah”? Jika salah seorang anggota keluarga meninggal (dilahap
kematian), orang otomatis kehilangan kepala dinginnya. Emosi, kesedihan dan
ketakutan menikam jiwanya. Daya analisis dan kemampuan nalar langsung meredup.
Kemampuan kematian untuk
menghancurkan nalar dan membangkitkan ketakutan amatlah besar. Kematian
menyergap langsung. Ia tak dapat ditebak. Ia merusak harmoni di dalam keluarga
dan di dalam hubungan antar manusia, yang telah diusahakan dengan segala daya
sebelumnya. Inilah alasan, mengapa kematian menjadi suatu “masalah”.
Kematian juga menciptakan rasa
takut. Namun, jika diteliti lebih dalam, seperti dinyatakan oleh Budi Hardiman,
yang menakutkan bukanlah kematian, melainkan mati, yakni proses menuju
kematian. Orang, pada dasarnya, tidak takut akan kematian. Namun, semua orang,
bahkan para penganut agama yang merindukan surga, tidak mau menjalani proses
“mati” menuju kematian. Proses tersebut memang kerap kali tragis, seperti
kecelakaan berdarah, penyakit yang menyiksa dan sebagainya.
Kematian bisa menjadi masalah,
karena ia bisa memecah keluarga. Kematian satu orang bisa melahirkan perang,
seperti yang memicu perang dunia pertama pada awal abad lalu. Dampak sebaliknya
juga benar, bahwa kematian bisa juga menyatukan keluarga. Orang-orang yang
sebelumnya tak akrab lalu menjadi dekat, karena mengalami kesedihan dan
kehilangan yang sama. Kesamaan nasib dan kesedihan melampaui segala perbedaan,
lalu mengikat orang yang sebelumnya bermusuhan.
Bagi keluarga yang ditinggalkan,
kematian meninggalkan luka dalam di hati. Kata “patah hati” disini berperan
tidak hanya sebagai lukisan, tetapi nyaris mendekati kenyataan. Luka yang
timbul dari kematian sungguh mematahkan hati sanak saudara yang ditinggalkan.
Pada beberapa peristiwa yang ekstrem, kematian satu orang bisa mendorong
kematian orang lainnya, persis karena patah hati yang dirasakannya.
Di Indonesia, kematian sering
menjadi ladang bisnis. Dalam situasi duka, orang sulit berpikir jernih.
Akibatnya, ia lalu menjadi lengah, dan mudah ditipu oleh para pengeruk uang.
Harga makanan berlipat, ketika keluarga yang berkabung hendak menyelenggarakan
doa bersama. Segalanya menjadi lebih mahal, dan keluarga yang berkabung tak
lagi punya tenaga maupun akal sehat untuk menolak. Kematian satu orang juga
bisa berarti kematian ekonomi satu keluarga.
Di Indonesia, kematian menjadi
peristiwa sosial; peristiwa bersama. Keluarga yang berkabung nyaris tak punya
pilihan, apa yang akan dilakukannya. Semuanya sudah ada tradisi dan prosedur
yang mesti diikuti, demi memenuhi tuntutan sosial. Mungkin saja, niat
dibaliknya baik. Namun, proses yang harus dijalankan amatlah menindas, karena
keluarga harus tunduk pada norma sosial yang ada yang seringkali melelahkan dan
menguras uang, walaupun ia sedang berduka berat.
Hidup setelah Mati
Salah satu pertanyaan penting
dalam hidup manusia adalah, apa yang terjadi setelah kematian? Ini pertanyaan
yang amat penting. Tidak ada metode ilmiah yang mampu menjawabnya. Kita
membutuhkan pendekatan yang bergerak dari agama, mitos sampai dengan ilmu
pengetahuan, guna memberikan beberapa kemungkinan jawaban.
Di berbagai peradaban dunia, kita
bisa dengan mudah menemukan adanya konsep tentang hidup sesudah mati. Versinya
beragam, namun polanya kurang lebih serupa. Setelah kematian, orang akan
memasuki alam berikutnya. Di sana, jika ia menjalani hidup yang baik, ia akan
mendapatkan kebahagiaan. Jika hidupnya jahat, maka ia harus menjalani hukuman.
Inilah pola yang cukup universal, yang dapat ditemukan di berbagai cerita
mitologis di hampir semua peradaban dunia.
Pandangan ini kemudian
dilanjutkan oleh agama-agama dunia dengan konsep surga dan neraka. Orang baik
akan masuk surga, dan menemukan kebahagiaan abadi disana. Sementara, orang
jahat akan masuk neraka, serta mengalami hukuman berat disana. Juga ada semacam
entitas abadi (Tuhan, Dewa) yang berperan sebagai hakim bagi setiap orang,
setelah ia meninggal.
Di dalam kematian terselip ide
tentang keadilan. Hidup ini memang tidak adil. Namun, kematian akan memperbaiki
fakta itu. Kita tidak bisa membuktikan, apakah pendapat ini benar, atau hanya
cerita belaka. Namun, ada sesuatu yang indah di dalam ide, bahwa kematian
selalu terkait dengan ide keadilan.
Dari sudut pandang ilmu-ilmu pengetahuan
modern, yang menggunakan metode berpikir ilmiah dengan berpijak pada data-data
yang dapat dilihat dan diukur, kita sulit untuk berbicara soal kematian.
Satu-satunya argumen yang dalam pandangan ini paling masuk akal adalah, bahwa
kehidupan itu adalah energi, dan energi itu abadi. Ia hanya berpidah tempat.
Maka, setelah orang mati, energinya akan kembali ke alam, dan menjadi sesuatu
yang lain.
Tidak ada dunia setelah kematian.
Yang ada adalah kekosongan, karena energi berpindah menjadi sesuatu yang lain.
Namun, seperti semua pandangan di dalam ilmu pengetahuan, pandangan ini pun
hanya berupa kemungkinan, karena ilmu pengetahuan tidak pernah bisa memberikan
kebenaran ataupun kepastian, melainkan hanya kemungkinan. Kehidupan setelah
mati adalah suatu kemungkinan, walaupun, dari sudut pandang ilmu pengetahuan,
kemungkinannya cukup rendah.
Makna dari Kematian
Berpijak pada beragam pandangan
ini, kita tak mungkin bisa memastikan, apa yang terjadi setelah kematian. Semua
pandangan hanya bisa berperan sebagai kemungkinan, namun bukan kebenaran. Kita
bisa saja bilang, berarti kita harus percaya, dan itulah inti iman. Namun, saya
berpikir, bagaimana kita bisa percaya pada sesuatu yang bersifat kemungkinan,
atau yang belum pasti.
Saya rasa, kita perlu menggeser
pertanyaannya, bukan lagi “adakah hidup setelah kematian”, melainkan,
“bagaimana kita memaknai kematian itu sendiri, kematian kita, dan kematian
orang-orang yang kita sayangi.” Pertanyaan tentang “makna dari peristiwa”
adalah pertanyaan terpenting dalam hidup manusia, terutama ketika ia menghadapi
peristiwa maut yang menyakiti hatinya.
Tidak ada rumusan mutlak untuk
menjawab pertanyaan ini. Setiap orang harus berusaha secara pribadi memberikan
makna pada kematian, baik kematiannya sendiri, maupun kematian orang-orang yang
disayanginya. Makna itu harus diciptakan, dan dikembangkan sejalan dengan
berjalannya waktu. Ia bukan sesuatu yang tetap dan stabil, melainkan dinamis,
dan perlu untuk ditafsirkan ulang sejalan dengan perkembangan waktu dan
peristiwa.
Saya sendiri melihat kematian
dari orang-orang yang saya sayangi sebagai titik ubah. Kematian itu mengubah,
baik mengubah keadaan, maupun mengubah jiwa manusia itu sendiri. Titik ubah
lalu dimaknai sebagai kemungkinan dan kesempatan, guna menentukan arah yang
baru, termasuk arah dan cara bagaimana kita menjalani hidup. Titik ubah ini
mengejutkan sekaligus membuka peluang-peluang, yang sebelumnya tersembunyi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar