Pengikut

Selasa, 06 Desember 2016

Kematian dan Filsafat



Kematian sebagai “Masalah”
Jadi, apa yang membuat kematian menjadi suatu “masalah”? Jika salah seorang anggota keluarga meninggal (dilahap kematian), orang otomatis kehilangan kepala dinginnya. Emosi, kesedihan dan ketakutan menikam jiwanya. Daya analisis dan kemampuan nalar langsung meredup.
Kemampuan kematian untuk menghancurkan nalar dan membangkitkan ketakutan amatlah besar. Kematian menyergap langsung. Ia tak dapat ditebak. Ia merusak harmoni di dalam keluarga dan di dalam hubungan antar manusia, yang telah diusahakan dengan segala daya sebelumnya. Inilah alasan, mengapa kematian menjadi suatu “masalah”.

Kematian juga menciptakan rasa takut. Namun, jika diteliti lebih dalam, seperti dinyatakan oleh Budi Hardiman, yang menakutkan bukanlah kematian, melainkan mati, yakni proses menuju kematian. Orang, pada dasarnya, tidak takut akan kematian. Namun, semua orang, bahkan para penganut agama yang merindukan surga, tidak mau menjalani proses “mati” menuju kematian. Proses tersebut memang kerap kali tragis, seperti kecelakaan berdarah, penyakit yang menyiksa dan sebagainya.
Kematian bisa menjadi masalah, karena ia bisa memecah keluarga. Kematian satu orang bisa melahirkan perang, seperti yang memicu perang dunia pertama pada awal abad lalu. Dampak sebaliknya juga benar, bahwa kematian bisa juga menyatukan keluarga. Orang-orang yang sebelumnya tak akrab lalu menjadi dekat, karena mengalami kesedihan dan kehilangan yang sama. Kesamaan nasib dan kesedihan melampaui segala perbedaan, lalu mengikat orang yang sebelumnya bermusuhan.
Bagi keluarga yang ditinggalkan, kematian meninggalkan luka dalam di hati. Kata “patah hati” disini berperan tidak hanya sebagai lukisan, tetapi nyaris mendekati kenyataan. Luka yang timbul dari kematian sungguh mematahkan hati sanak saudara yang ditinggalkan. Pada beberapa peristiwa yang ekstrem, kematian satu orang bisa mendorong kematian orang lainnya, persis karena patah hati yang dirasakannya.
Di Indonesia, kematian sering menjadi ladang bisnis. Dalam situasi duka, orang sulit berpikir jernih. Akibatnya, ia lalu menjadi lengah, dan mudah ditipu oleh para pengeruk uang. Harga makanan berlipat, ketika keluarga yang berkabung hendak menyelenggarakan doa bersama. Segalanya menjadi lebih mahal, dan keluarga yang berkabung tak lagi punya tenaga maupun akal sehat untuk menolak. Kematian satu orang juga bisa berarti kematian ekonomi satu keluarga.
Di Indonesia, kematian menjadi peristiwa sosial; peristiwa bersama. Keluarga yang berkabung nyaris tak punya pilihan, apa yang akan dilakukannya. Semuanya sudah ada tradisi dan prosedur yang mesti diikuti, demi memenuhi tuntutan sosial. Mungkin saja, niat dibaliknya baik. Namun, proses yang harus dijalankan amatlah menindas, karena keluarga harus tunduk pada norma sosial yang ada yang seringkali melelahkan dan menguras uang, walaupun ia sedang berduka berat.
Hidup setelah Mati
Salah satu pertanyaan penting dalam hidup manusia adalah, apa yang terjadi setelah kematian? Ini pertanyaan yang amat penting. Tidak ada metode ilmiah yang mampu menjawabnya. Kita membutuhkan pendekatan yang bergerak dari agama, mitos sampai dengan ilmu pengetahuan, guna memberikan beberapa kemungkinan jawaban.
Di berbagai peradaban dunia, kita bisa dengan mudah menemukan adanya konsep tentang hidup sesudah mati. Versinya beragam, namun polanya kurang lebih serupa. Setelah kematian, orang akan memasuki alam berikutnya. Di sana, jika ia menjalani hidup yang baik, ia akan mendapatkan kebahagiaan. Jika hidupnya jahat, maka ia harus menjalani hukuman. Inilah pola yang cukup universal, yang dapat ditemukan di berbagai cerita mitologis di hampir semua peradaban dunia.
Pandangan ini kemudian dilanjutkan oleh agama-agama dunia dengan konsep surga dan neraka. Orang baik akan masuk surga, dan menemukan kebahagiaan abadi disana. Sementara, orang jahat akan masuk neraka, serta mengalami hukuman berat disana. Juga ada semacam entitas abadi (Tuhan, Dewa) yang berperan sebagai hakim bagi setiap orang, setelah ia meninggal.
Di dalam kematian terselip ide tentang keadilan. Hidup ini memang tidak adil. Namun, kematian akan memperbaiki fakta itu. Kita tidak bisa membuktikan, apakah pendapat ini benar, atau hanya cerita belaka. Namun, ada sesuatu yang indah di dalam ide, bahwa kematian selalu terkait dengan ide keadilan.
Dari sudut pandang ilmu-ilmu pengetahuan modern, yang menggunakan metode berpikir ilmiah dengan berpijak pada data-data yang dapat dilihat dan diukur, kita sulit untuk berbicara soal kematian. Satu-satunya argumen yang dalam pandangan ini paling masuk akal adalah, bahwa kehidupan itu adalah energi, dan energi itu abadi. Ia hanya berpidah tempat. Maka, setelah orang mati, energinya akan kembali ke alam, dan menjadi sesuatu yang lain.
Tidak ada dunia setelah kematian. Yang ada adalah kekosongan, karena energi berpindah menjadi sesuatu yang lain. Namun, seperti semua pandangan di dalam ilmu pengetahuan, pandangan ini pun hanya berupa kemungkinan, karena ilmu pengetahuan tidak pernah bisa memberikan kebenaran ataupun kepastian, melainkan hanya kemungkinan. Kehidupan setelah mati adalah suatu kemungkinan, walaupun, dari sudut pandang ilmu pengetahuan, kemungkinannya cukup rendah.
Makna dari Kematian
Berpijak pada beragam pandangan ini, kita tak mungkin bisa memastikan, apa yang terjadi setelah kematian. Semua pandangan hanya bisa berperan sebagai kemungkinan, namun bukan kebenaran. Kita bisa saja bilang, berarti kita harus percaya, dan itulah inti iman. Namun, saya berpikir, bagaimana kita bisa percaya pada sesuatu yang bersifat kemungkinan, atau yang belum pasti.
Saya rasa, kita perlu menggeser pertanyaannya, bukan lagi “adakah hidup setelah kematian”, melainkan, “bagaimana kita memaknai kematian itu sendiri, kematian kita, dan kematian orang-orang yang kita sayangi.” Pertanyaan tentang “makna dari peristiwa” adalah pertanyaan terpenting dalam hidup manusia, terutama ketika ia menghadapi peristiwa maut yang menyakiti hatinya.
Tidak ada rumusan mutlak untuk menjawab pertanyaan ini. Setiap orang harus berusaha secara pribadi memberikan makna pada kematian, baik kematiannya sendiri, maupun kematian orang-orang yang disayanginya. Makna itu harus diciptakan, dan dikembangkan sejalan dengan berjalannya waktu. Ia bukan sesuatu yang tetap dan stabil, melainkan dinamis, dan perlu untuk ditafsirkan ulang sejalan dengan perkembangan waktu dan peristiwa.
Saya sendiri melihat kematian dari orang-orang yang saya sayangi sebagai titik ubah. Kematian itu mengubah, baik mengubah keadaan, maupun mengubah jiwa manusia itu sendiri. Titik ubah lalu dimaknai sebagai kemungkinan dan kesempatan, guna menentukan arah yang baru, termasuk arah dan cara bagaimana kita menjalani hidup. Titik ubah ini mengejutkan sekaligus membuka peluang-peluang, yang sebelumnya tersembunyi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar