Buya Hamka dalam karyanya tidak memberikan definisi secara
jelas tentang syūra. Ia menjelaskan bahwa al-Qur'an dan hadis tidak memberikan
informasi detail tentang bagaimana melakukan syūra. Sebagai bahan pertimbangan
Rasulullah dalam hal ini memakai menteri-menteri utama
seperti Abu Bakar, Umar,
dan menteri tingkat kedua yakni Usman dan Ali, kemudian terdapat enam menteri
lain, serta satu menteri ahli musyawarah dari kalangan Anshar. Islam menurut
Hamka telah mengajarkan pentingnya umat mempraktikkan sistem syūra ini.
Sementara itu, teknik pelaksanaanya tergantung pada keadan tempat dan keadaan
zaman.
Sementara itu, menurut Hamka dalam Qs: as-Syu@ra ayat 38
mengandung penjelasan bahwa kemunculan musyawarah disebabkan karena adanya
jamaah. Dalam melakukan shalat diperlukan musyawarah untuk menentukan siapa
yang berhak untuk menjadi imam. Dengan demikian, menurut Hamka dasar dari
musyawarah telah ditanamkan sejak zaman Makah. Sebab, ayat ini (al-Qur'an surah
as-Syu@ra) diturunkan di Makah. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa dalam
menjalankan musyawarah harus didasarkan pada asas al-maslah{at. Nabi dalam hal
ini menegaskan segala urusan terkait dengan dunia, misal masalah perang,
ekonomi, hubungan antar sesama manusia dibangun atas dasar dibangun atas dasar
timbangan maslahat dan mafsada@t-nya.
Hamka dalam hal ini mengkontekskan ayat al-Qur'an tentang
syūra dalam konteks keindonesiaan. Menurutnya, bangsa Indonesia dapat memilih
sistem pemerintahan dalam bentuk apapun untuk menjalankan roda pemerintahan,
tetapi tidak boleh meninggalkan sistem sura yang di dasarkan atas maslahat.
Sampai di sini dapat dikatakan bahwa maslahat adalah prinsip dasar dalam
melakukan syūra yang wajib dilakukan oleh setiap bangsa dan negara.
2. Masalah Negara dan Kepala Negara
Hamka menyatakan bahwa suatu umat adalah semua kaum yang
telah terbentuk menjadi suatu masyarakat atau kelompok, mereka menjadi satu
atas dasar persamaan keyakinan. Adapun tegak berdirinya suatu negara atau
kekuasaan dimulai sejak manusia mengenal bermusyawarah dan bernegara, di mana
kekuasaan dari segala bentuknya adalah milik Allah, yang telah menjadikan
manusia sebagai pemimpin atau khalifah dalam menjalankan kekeuasaan tersebut,
yang dibarengi dengan aturan-aturan yang telah ditentukan Allah dalam nas.
Dalam keyakinan Islam, manusia mengatur negara bersama-sama
atas kehendak Tuhan. Pengangkatan presiden, sultan, raja harus berada di bawah
kekuasaan Tuhan yang dijelaskan dalam nas, Hamka menyebutnya dengan “Demokrasi
Taqwa”. Majunya suatu kelompok masyarakat adalah manakala mereka memegang teguh
peraturan-peraturan Allah, dan runtuhnya masyarakat manakala mereka meninggalkan-Nya.
Tidak ada satupun yang dapat menghalangi keruntuhan itu.
Sementara itu, terkait dengan syarat bagi seorang pemimpin
(kepala negara), Hamka menyatakan ada dua hal yang harus dipenuhi seorang
pemimpin. Pertama, ilmu yakni ilmu tentang kepemimpinan. Kedua, badan, yakni
sehat, dan tampan sehingga memunculkan simpati. Ditambahkan pula bahwa pemimpin
tersebut haruslah orang Islam sendiri, agar tidak menimbulkan instabilitas dan
keruntuhan kaum muslim.
Lebih lanjut, Hamka menjelaskan bahwa tugas seorang pemimpin
adalah meramaikan bumi, memeras akal budi untuk mencipta, berusaha, mencari,
menambah ilmu, membangun kemajuan dan kebudayaan, mengatur siasat negeri,
bangsa dan benua.
3. Masalah Hubungan Agama dan Negara
Islam adalah suatu ajaran dari langit, mengandung syari@’at
dan ibadah, mua@malat (kemasyarakatan), dan kenegaraan. Semua datang dari satu
sumber, yakni tauhid. Tauhid tidak boleh dipisahkan, misal hanya melakukan
shalat saja, sementara kenegaran diambil dari ajaran lain. Jika ada keyakinan
lain bahwa ada ajaran lain untuk mengatur masyarakat yang lebih baik dari
Islam, maka kafirlah orang tersebut, meskipun orang itu masih melaksanakan
shalat lima waktu. Hal ini tidak aneh, sebab tauhid bagi Hamka adalah pembentuk
bagi tegak dan teguhnya suatu bangsa.
Hamka ketika menafsirkan Qs: al-Baqa@rah (2): 283
menyimpulkan bahwa antara Islam dan negara adalah satu kesatuan, tidak ada yang
dapat memisahkan urusan dunia dan agama bahkan dalam kaitannya dengan masalah
urusan muamalah, hubungan manusia dengan manusia yang lain (hukum perdata).
Sebab, Islam menghendaki hubungan yang lancar dalam segala urusan. Pendapatnya
ini juga ditemukan dalam tulisannya yang lain bahwa dalam sejarah Islam tidak
pernah ditemukan pemisahan antara agama dan negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar