Mengenai Wujud Tuhan, Ibnu Sina memiliki pendapat yang
berbeda dari Ibnu Farabi. Ibnu Sina bahwa Akal Pertama mempunyai dua sifat;
sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya
jika ditinjau dari hakekat
dirinya (wajibul Wujudul Lighairi dan Mumkinul
Wujudul Lidzatihi) dalam bahasa Inggris (Necessary by virtue of the Necessary
Being dan Possible in essence). Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek
pemikiran: Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin
wujudnya. Dari pemikiran tentang Tuhan, timbul akal-akal, dari pemikiran
tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa-jiwa dan dari pemikiran
tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul langit-langit.[10]
Walaupun Ibnu Sina memiliki pandangan yang berbeda dari
akal, namun ada pendapat Ibnu Sina yang sama dengan al-Farabi, tentang wujud
Tuhan bersifat emanasionistis. Perkataannya dari Tuhannlah Kemaujudan Yang
Mesti mengalir Inteligensi pertama, sendirian karena hanya dari yang tunggal,
yang mutlak, sesuatu dapat mewujud. Akan tetapi, sifat inteligensi pertama itu
tidak selamanya mutlak satu, karena ia
bukan ada dengan sendirinya, ia hanya mungkin, dan kemungkinannya itu
diwujudkan oleh Tuhan. Berkat kedua sifat itu, yang sejak saat itu melingkupi
seluruh ciptaan di dunia, inteligensi pertama memunculkan dua kemaujudan,
yaitu: pertama, Inteligensi kedua melalui kebaikan ego tertinggi dari adanya
aktualitas. Kedua, lingkup pertama dan tertinggi berdasarkan segi terendah dari
adanya kemungkinan alamiahnya.
Dua proses pemancaran ini berjalan terus menerus sampai kita
mencapai inteligensi kesepuluh yang mengatur dunia ini, oleh sebab demikian
banyak para filsafat Muslim yang disebut
”Malaikat Jibril”. Nama ini diberikan karena ia memberikan bentuk atau
”memberitahukan” materi dunia ini, yaitu materi fisik dan akal manusia. Oleh
karena itu, ia juga disebut ”pemberi bentuk”.[11]
Menurut Ibnu Sina, bahwa Tuhan, dan hanya Tuhan saja yang
memiliki wujud Tunggal secara mutlak. Sedangkan segala sesuatu yang lain
memiliki kodrat yang mendua. Karena ketunggalannya, apakah Tuhan itu, dan
kenyataan bahwa ia ada, bukanlah dua unsur dalam satu wujud, tetapi satu unsur
anatomik dalam wujud yang Tunggal. Tentang apakah Tuhan itu dann hakikat Tuhan
adalah identik dengan eksistensi-Nya. Hal ini bukan merupakan kejadian bagi
wujud lainnya, karena tidak ada kejadian lain yang eksistensinya identik dengan
esensinya. Dengan kata lain, seorang suku Eskimo yang tidak pernah melihat
gajah, maka ia tergolong salah seorang yang berdasarkan kenyataan itu sendiri
mengetahui bahwa gajah itu ada. Demikian halnya, adanya Tuhan adalah satu
keniscayaan, sedangkan adanya sesuatu yang lain hanya mungkin dan diturunkan
dari adanya Tuhan, dan dugaan bahwa Tuhan itu tidak ada mengandung kontradiksi,
karena dengan demikian yang lain pun juga tidak akan ada.[12]
Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Tuhan Yang Maha Esa,
Dialah Allah, maka ia tidak perlu mencari dalil dengan salah satu makhluknya,
tetapi cukup dalil adanya Wujud Pertama, yakni ; Wajibul Wujud. Sedangkan jagad
raya ini, yakni mumkinul wujud memerlukan sesuatu sebab (’illat) yang
mengeluarkannya menjadi wujud karena wujudnya tidak dari zatnya sendiri. Dengan
demikian, dalam menetapkan Yang Pertama (Allah, kita tidak memerlukan
perenungan selain terhadap wujud itu sendiri, tanpa memerlukan pembuktian
wujud-Nya dengan salah satu makhluk-Nya. Sebagai pembuktian dari wacana di
atas, al-Qur’an menggambarkannya dalam Surat Fushshilat ayat 53 yang artinya
sebagai berikut :
”Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda
(kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga
jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa
Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar