Pengikut

Selasa, 06 Desember 2016

Integrasi Urusan Ekonomi dan Etika dalam Filsafat Ekonomi Aristoteles


Menurut Aristoteles, kebutuhan manusia (man’s need) tidak terlalu banyak, tetapi keinginannya (man’s desire) yang relatif tak terbatas. Kegiatan produksi yang semata-mata untuk memenuhi hasrat manusia yang tanpa batas dikecamnya sebagai tidak adil (unnatural).oeconomia dan chrematistike.
Yang pertama adalah kegiatan mencukupi kebutuhan sehari-hari rumah tangga, dan yang kedua adalah usaha untuk memperoleh keuntungan sifatnya, misalnya perdagangan yang didorong oleh morif keuntungan sebesar-besanya. Aristoteles mencela yang kedua dan memuji yang pertama. Demikian juga ia membedakan antara “use” (kegunaan) dan “gain” (keuntungan) serta antara
Dari analisis ekonomi ini setidaknya ada beberapa gagasan utama Aristoteles yang pada dasarnya menjadi semacam embrio dari pemikiran ekonomi dewasa ini. Adam Smith, misalnya, mengambil banyak insight dari pemikiran-pemikiran ini.
Pertama, teori tentang nilai. Aristoteles telah membuat pembedaan antara nilai guna dan nilai tukar barang. Bahwa nilai tukar barang dihasilkan dari nilai gunanya. Sayangnya, Aristoteles tidak sampai membuat perumusan mengenai “nilai harga” yang baru dikembangkan oleh pengikutnya kemudian, karena ia dihadapkan oleh problem keadilan dalam penetapan harga itu, yakni keadilan komutatifnya. Dalam hal ini Aristoteles mengecam monopoli pasar oleh satu orang karena merupakan cara bertransaksi yang tidak adil. Namun demikian secara bersamaan sesungguhnya Aristoteles telah berusaha mencari hukum keadilan dalam penetapan harga.
Keadilan itu terletak pada tercapainya prinsip “keseimbangan” (equivalence) antara apa yang diberikan dan apa yang diterima. Dan dengan adanya uang sebagai medium pertukaran, keseimbangan dalam penetapan harga maupun dalam pertukatan sesungguhnya bisa menjadi ukuran bagi hukum keadilan.
Secara logis bila praktek monopoli yang dalam definisi Aristoteles sebagai dominasi penjual/pembeli tunggal (a single seller) dalam pasar dianggap tercela dan tidak adil, maka sebaliknya Aristoteles akan bisa menerima praktek transaksi pertukaran yang dilakukan dalam pasar kompetitif, di mana individu-individu bisa terlibat dalam mekanisme tersebut, tanpa ada seorangpun yang bisa dengan semaunya merubah harga.
Kedua, teori tentang uang. Bagi Aristoteles, uang adalah medium pertukaran (a medium of exchange) sekaligus juga bisa dipakai untuk mengukur nilai barang (a measure of value). Keberadaan uang sebenarnya digunakan untuk menggantikan sistem barter (pertukaran barang dengan barang), bila barter tidak dimungkinkan karena barang yang kita harapkan tidak ada dan karenanya kita memerlukan barang lain untuk kita pertukarkan dalam proses barter selanjutnya (indirect barter). Dan biasanya “uang” yang dijadikan alat pertukaran memiliki nilai yang relatif stabil dan mudah dibawa.
Ketiga, tentang bunga. Aristoteles mengutuk “bunga” yang ada dalam sistem riba. Ia menolak sistem riba atau transaksi pertukaran yang bermaksud semata-mata memperanakpinakkan uang untuk memperbesar modal/uang.
Keempat, Aristoteles membuat pembedaan tiga jenis keadilan: keadilan distributive, keadilan korektif dan keadilan komutatif. Keadilan distributife menyangkut distribusi barang, termasuk kekuasaan politik dan hak milik diantara anggota masyarakat sesuai dengan prinsip sumbangan atau jasa setiap orang. Keadilan korektif adalah bentuk keadilan yang berfungsi untuk melindungi individu dari kemungkian kerugian yang tidak semestinya baik dalam transaksi yang dikehendaki maupun yang tidak dikehendaki. Keadilan jenis ini biasanya terwujud dalam undang-undang yang memberi kompensasi atau ganti rugi bagi pihak yang dirugikan dalam transaksi dan hukuman bagi yang merugikan. Prinsip yang mau ditegakkan adalah kesamaan kedudukan setiap orang dan masing-masing orang tidak boleh merugikan yang lain. Sementara keadilan komutatif adalah keadilan bagi masing-masing pihak untuk menerima sesuatu yang baik dan menguntungkan secara timbal balik.
Dalam karyanya Nicomachean Ethics, Aristoteles memandang keadilan sebagai keutamaan. Kehidupan yang baik akan tercapai bila prinsip-prinsip keadilan dilaksanakan. Namun demikian, keadilan bagi Aristoteles tidak selalu merupakan kesamaan, karena ada juga ketidaksamaan yang justeru mencerminkan rasa keadilan.
tampak sekali bahwa Aristoteles sesungguhnya meletakkan persoalan ekonomi sebagai bagian dari refleksinya terhadap persoalan-persoalan kenegaraan. Negara polis yang dibayangkan Aristoteles adalah komunitas etis yang keberadaannya semata-mata untuk merealisasikan kebaikan bersama. Dan dengan demikian pula pengelolaan ekonomi (sebagai bagian dari persoalan kenegaraan) juga harus tunduk pada tujuan-tujuan masyarakat dalam negara kota yakni untuk mewujudkan kebaikan bersama itu. Kebaikan bersama atau “happiness” ini dalam permikiran ekonomi Aristoteles dicapai bila tiap orang memenuhi kebutuhan dasar hidup secukupnya dan melakukan transaksi ekonomi secara wajar dan adil. Artinya secara moral kegiatan ekonomi ini tidak boleh menyebabkan penderitaan dan kerugian bagi orang lain. Kita juga harus memperlakukan orang lain secara fair dan menghargai hak-haknya, juga menghormati hokum negara sebagai institusi yang menjamin kebaikan bersama bagi seluruh masyarakat.
Gagasan besar inilah yang kini sangat relevan dengan pemikiran baru dewasa ini, sebagaimana yang diserukan Leon Walras, mengenai perlunya sistem ekonomi sosial menggantikan sistem liberalisme pasar yang telah mengingkari tanggung jawab individu terhadap keutamaan kebaikan bersama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar