Menurut Aristoteles, kebutuhan manusia (man’s need) tidak terlalu banyak, tetapi keinginannya (man’s desire) yang relatif tak terbatas. Kegiatan produksi yang semata-mata untuk memenuhi hasrat manusia yang tanpa batas dikecamnya sebagai tidak adil (unnatural).oeconomia dan chrematistike.
Yang pertama adalah kegiatan mencukupi kebutuhan sehari-hari rumah tangga, dan yang kedua adalah usaha untuk memperoleh keuntungan sifatnya, misalnya perdagangan yang didorong oleh morif keuntungan sebesar-besanya. Aristoteles mencela yang kedua dan memuji yang pertama. Demikian juga ia membedakan antara “use” (kegunaan) dan “gain” (keuntungan) serta antara
Dari analisis ekonomi ini
setidaknya ada beberapa gagasan utama Aristoteles yang pada dasarnya menjadi
semacam embrio dari pemikiran ekonomi dewasa ini. Adam Smith, misalnya,
mengambil banyak insight dari pemikiran-pemikiran ini.
Pertama, teori tentang nilai.
Aristoteles telah membuat pembedaan antara nilai guna dan nilai tukar barang.
Bahwa nilai tukar barang dihasilkan dari nilai gunanya. Sayangnya, Aristoteles
tidak sampai membuat perumusan mengenai “nilai harga” yang baru dikembangkan
oleh pengikutnya kemudian, karena ia dihadapkan oleh problem keadilan dalam
penetapan harga itu, yakni keadilan komutatifnya. Dalam hal ini Aristoteles
mengecam monopoli pasar oleh satu orang karena merupakan cara bertransaksi yang
tidak adil. Namun demikian secara bersamaan sesungguhnya Aristoteles telah
berusaha mencari hukum keadilan dalam penetapan harga.
Keadilan itu terletak pada
tercapainya prinsip “keseimbangan” (equivalence) antara apa yang diberikan dan
apa yang diterima. Dan dengan adanya uang sebagai medium pertukaran,
keseimbangan dalam penetapan harga maupun dalam pertukatan sesungguhnya bisa
menjadi ukuran bagi hukum keadilan.
Secara logis bila praktek
monopoli yang dalam definisi Aristoteles sebagai dominasi penjual/pembeli
tunggal (a single seller) dalam pasar dianggap tercela dan tidak adil, maka
sebaliknya Aristoteles akan bisa menerima praktek transaksi pertukaran yang
dilakukan dalam pasar kompetitif, di mana individu-individu bisa terlibat dalam
mekanisme tersebut, tanpa ada seorangpun yang bisa dengan semaunya merubah
harga.
Kedua, teori tentang uang. Bagi
Aristoteles, uang adalah medium pertukaran (a medium of exchange) sekaligus
juga bisa dipakai untuk mengukur nilai barang (a measure of value). Keberadaan
uang sebenarnya digunakan untuk menggantikan sistem barter (pertukaran barang
dengan barang), bila barter tidak dimungkinkan karena barang yang kita harapkan
tidak ada dan karenanya kita memerlukan barang lain untuk kita pertukarkan
dalam proses barter selanjutnya (indirect barter). Dan biasanya “uang” yang
dijadikan alat pertukaran memiliki nilai yang relatif stabil dan mudah dibawa.
Ketiga, tentang bunga.
Aristoteles mengutuk “bunga” yang ada dalam sistem riba. Ia menolak sistem riba
atau transaksi pertukaran yang bermaksud semata-mata memperanakpinakkan uang
untuk memperbesar modal/uang.
Keempat, Aristoteles membuat
pembedaan tiga jenis keadilan: keadilan distributive, keadilan korektif dan
keadilan komutatif. Keadilan distributife menyangkut distribusi barang,
termasuk kekuasaan politik dan hak milik diantara anggota masyarakat sesuai
dengan prinsip sumbangan atau jasa setiap orang. Keadilan korektif adalah
bentuk keadilan yang berfungsi untuk melindungi individu dari kemungkian
kerugian yang tidak semestinya baik dalam transaksi yang dikehendaki maupun
yang tidak dikehendaki. Keadilan jenis ini biasanya terwujud dalam
undang-undang yang memberi kompensasi atau ganti rugi bagi pihak yang dirugikan
dalam transaksi dan hukuman bagi yang merugikan. Prinsip yang mau ditegakkan
adalah kesamaan kedudukan setiap orang dan masing-masing orang tidak boleh
merugikan yang lain. Sementara keadilan komutatif adalah keadilan bagi
masing-masing pihak untuk menerima sesuatu yang baik dan menguntungkan secara
timbal balik.
Dalam karyanya Nicomachean
Ethics, Aristoteles memandang keadilan sebagai keutamaan. Kehidupan yang baik
akan tercapai bila prinsip-prinsip keadilan dilaksanakan. Namun demikian,
keadilan bagi Aristoteles tidak selalu merupakan kesamaan, karena ada juga
ketidaksamaan yang justeru mencerminkan rasa keadilan.
tampak sekali bahwa Aristoteles
sesungguhnya meletakkan persoalan ekonomi sebagai bagian dari refleksinya
terhadap persoalan-persoalan kenegaraan. Negara polis yang dibayangkan
Aristoteles adalah komunitas etis yang keberadaannya semata-mata untuk
merealisasikan kebaikan bersama. Dan dengan demikian pula pengelolaan ekonomi
(sebagai bagian dari persoalan kenegaraan) juga harus tunduk pada tujuan-tujuan
masyarakat dalam negara kota yakni untuk mewujudkan kebaikan bersama itu.
Kebaikan bersama atau “happiness” ini dalam permikiran ekonomi Aristoteles
dicapai bila tiap orang memenuhi kebutuhan dasar hidup secukupnya dan melakukan
transaksi ekonomi secara wajar dan adil. Artinya secara moral kegiatan ekonomi
ini tidak boleh menyebabkan penderitaan dan kerugian bagi orang lain. Kita juga
harus memperlakukan orang lain secara fair dan menghargai hak-haknya, juga
menghormati hokum negara sebagai institusi yang menjamin kebaikan bersama bagi
seluruh masyarakat.
Gagasan besar inilah yang kini
sangat relevan dengan pemikiran baru dewasa ini, sebagaimana yang diserukan
Leon Walras, mengenai perlunya sistem ekonomi sosial menggantikan sistem
liberalisme pasar yang telah mengingkari tanggung jawab individu terhadap
keutamaan kebaikan bersama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar