Pemikiran Tan Malaka secara konsisten, didasarkan pada filsafat dan pandangan hidup Madilog yang merupakan landasan dasar dan harus disadari oleh kaum proletar Indonesia untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Madilog hadir, berangkat dari keprihatinan Tan Malaka kepada kaum proletarian yang terlalu tenggelam dengan dunia takhayul dan mistis yang menjadikan mereka tidak realistik dan tak punya nyali untuk bergerak melawan imperalisme. Kaum proletarian hanya bergantung, enggan berubah dan terkesan menunggu datangnya Ratu Adil yang akan membebaskan mereka pada keterpurukan, yang mana cerita itu belum tentu benar adanya (takhayul). Dalam filsafat pemikirannya, Tan Malaka menyebut masalah pelik ini sebagai logika mistika. Untuk mengatasi hal tersebut, Tan Malaka menyodorkan tiga hal sebagaisenjata penangkalnya, yakni Materialisme, Dialektika dan Logika (MADILOG).
Materialisme, menekankan pada keterarahan perhatian manusia pada
kenyataan, bukan kepada khayalan dan takhayul. Logikanya sederhana, dari pada
kita sibuk mencari penyebab tentang segala kejadian di alam gaib, lebih baik
kita mencari kenyataan bendawi sendiri. Dalam mengkaji realitas, maka
diperlukan ilmu pengetahuan yang berbasis pendekatan ilmiah. Dengan begitu,
paraproletar Indonesia akan berpikiran maju dan dapat keluar dari keterpurukan.
Namun, materialisme akan dapat optimal apabila disertai oleh dialektika.
Dialektika
menjelaskan bahwa realitas tidak dilihat sebagai sejumlah unsur terisolasi yang
sekali jadi lalu tak pernah berubah. Dialektika mengatakan bahwa segala sesuatu
bergerak maju melalui langkah-langkah yang saling bertentangan. Khususnya ia
menyebutkan dua hokum dialektika: hukum penyangkalan dari penyangkalan dan
hukum peralihan dari pertambahan kuantitatif ke perubahan kualitatif dan
kesatuan antara yang bertentangan.
Logika
oleh Tan Malaka secara eksplisit membandingkan dan menggantikan logika mistis
menjadi logika realitas. Dari madilog, Tan Malaka menunjukkan betapa lebih
mampu Madilog daripada logika gaib dalam menjelaskan segala kenyataan penting
yang kita hadapi. Seperti perkembangan alam raya, evolusi organisme, sejarah
manusia dan lain sebagainya (Suseno, 2000).
Menurut Tan Malaka, seorang pemimpin haruslah seorang yang cerdas dan
mampu memimpin suatu pergerakan revolusioner. Ia dapat memberikan pertimbangan
dan memperkirakan arah perjuangan yang akan berjalan. Di samping itu, seorang
pemimpin haruslah dapat menyelami kemauan rakyat dan dapat mengubah kemauan
masa menjadi perbuatan masa. Namun untuk menggerakkan suatu masa haruslah
memiliki suatu partai revolusioner. Partai inilah yang nantinya akan
mempertemukan orang-orang yang memiliki persamaan pandangan dalam revolusi.
Untuk mencapai kemenangan revolusi, harus memperhatikan dua syarat berikut :
pertama, kondisi objektif, yaitu suatu tingkatan sistemproduksi yang tertentu
dari masyarakat dan taraf tertentu dari kesengsaraan rakyat. Sedangkan yang
kedua adalah kondisi subjektif, yaitu kesediaan rakyat untuk membuat sebuah
partai revolusioner yang berdisiplin dan mengakar dalam masa rakyat (Rambe, 2003:
201).
Tan Malaka adalah model seorang intelektual organik dalam
istilahnya Gramsci, intelektual yang tidak sekadar piawai bermain teori, namun
juga mampu membumi dan bergerak di akar rumput. Ia tidak sekadar menuangkan
gagasannya dalam buku, pamflet, dan karya tulis lainnya sebagai media
perjuangan, namun ia juga turut bergerak dan berjuang secara fisik dengan
bergerilya, mengagitasi dan memimpin gerakan perlawanan melawan penjajah.
Di kala pemimpin perjuangan kemerdekaan lebih mengedepankan
perjuangan fisik, ia tidak lupa dengan kondisi masyarakat yang masih belum
memiliki kesadaran intelektual tinggi, yang tidak sekadar membutuhkan semangat
perjuangan dari orasi pemimpin perjuangan, tapi juga membutuhkan acuan
perjuangan, panduan perjuangan, penyemangat perjuangan dalam bentuk tertulis
yang lebih tahan lama dan dapat diwariskan dari orang ke orang lain, dari
generasi ke generasi.
Namun semua yang dilakukan Tan Malaka harus di bayar mahal,
rezim berkuasa yang merasa terganggu dan khawatir dengan pikiran-pikiran Tan
Malaka dapat mengganggu stabilitas nasional kemudian menenggelamkan dirinya
dari pentas sejarah bangsa. Antipati pemerintah terdahulu (Orde Baru) terhadap
Tan Malaka agaknya karena karya-karyanya banyak didasarkan pada paradigma
berpikir Marxian, sedangkan gagasan-gagasan itu relatif dekat dan bahkan
menginspirasi komunisme, stalinisme, leninisme.
Hal tersebut menjadikan rezim berkuasa melarang karya–karyanya dibaca
kalangan umum dan menenggelamkan peranan dalam perjuangan kemerdekaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar