Pengikut

Minggu, 18 Desember 2016

Filsuf Tan Malaka


Pemikiran Tan Malaka secara konsisten, didasarkan pada filsafat dan pandangan hidup Madilog yang merupakan landasan dasar dan harus disadari oleh kaum proletar Indonesia untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Madilog hadir, berangkat dari keprihatinan Tan Malaka kepada kaum proletarian yang terlalu tenggelam dengan dunia takhayul dan mistis yang menjadikan mereka tidak realistik dan tak punya nyali untuk bergerak melawan imperalisme. Kaum proletarian hanya bergantung, enggan berubah dan terkesan menunggu datangnya Ratu Adil yang akan membebaskan mereka pada keterpurukan, yang mana cerita itu belum tentu benar adanya (takhayul). Dalam filsafat pemikirannya, Tan Malaka menyebut masalah pelik ini sebagai logika mistika. Untuk mengatasi hal tersebut, Tan Malaka menyodorkan tiga hal sebagaisenjata penangkalnya, yakni Materialisme, Dialektika dan Logika (MADILOG).
                Materialisme, menekankan pada keterarahan perhatian manusia pada kenyataan, bukan kepada khayalan dan takhayul. Logikanya sederhana, dari pada kita sibuk mencari penyebab tentang segala kejadian di alam gaib, lebih baik kita mencari kenyataan bendawi sendiri. Dalam mengkaji realitas, maka diperlukan ilmu pengetahuan yang berbasis pendekatan ilmiah. Dengan begitu, paraproletar Indonesia akan berpikiran maju dan dapat keluar dari keterpurukan. Namun, materialisme akan dapat optimal apabila disertai oleh dialektika.
            Dialektika menjelaskan bahwa realitas tidak dilihat sebagai sejumlah unsur terisolasi yang sekali jadi lalu tak pernah berubah. Dialektika mengatakan bahwa segala sesuatu bergerak maju melalui langkah-langkah yang saling bertentangan. Khususnya ia menyebutkan dua hokum dialektika: hukum penyangkalan dari penyangkalan dan hukum peralihan dari pertambahan kuantitatif ke perubahan kualitatif dan kesatuan antara yang bertentangan.
            Logika oleh Tan Malaka secara eksplisit membandingkan dan menggantikan logika mistis menjadi logika realitas. Dari madilog, Tan Malaka menunjukkan betapa lebih mampu Madilog daripada logika gaib dalam menjelaskan segala kenyataan penting yang kita hadapi. Seperti perkembangan alam raya, evolusi organisme, sejarah manusia dan lain sebagainya (Suseno, 2000).
                Menurut Tan Malaka, seorang pemimpin haruslah seorang yang cerdas dan mampu memimpin suatu pergerakan revolusioner. Ia dapat memberikan pertimbangan dan memperkirakan arah perjuangan yang akan berjalan. Di samping itu, seorang pemimpin haruslah dapat menyelami kemauan rakyat dan dapat mengubah kemauan masa menjadi perbuatan masa. Namun untuk menggerakkan suatu masa haruslah memiliki suatu partai revolusioner. Partai inilah yang nantinya akan mempertemukan orang-orang yang memiliki persamaan pandangan dalam revolusi. Untuk mencapai kemenangan revolusi, harus memperhatikan dua syarat berikut : pertama, kondisi objektif, yaitu suatu tingkatan sistemproduksi yang tertentu dari masyarakat dan taraf tertentu dari kesengsaraan rakyat. Sedangkan yang kedua adalah kondisi subjektif, yaitu kesediaan rakyat untuk membuat sebuah partai revolusioner yang berdisiplin dan mengakar dalam masa rakyat (Rambe, 2003: 201).
Tan Malaka adalah model seorang intelektual organik dalam istilahnya Gramsci, intelektual yang tidak sekadar piawai bermain teori, namun juga mampu membumi dan bergerak di akar rumput. Ia tidak sekadar menuangkan gagasannya dalam buku, pamflet, dan karya tulis lainnya sebagai media perjuangan, namun ia juga turut bergerak dan berjuang secara fisik dengan bergerilya, mengagitasi dan memimpin gerakan perlawanan melawan penjajah.
Di kala pemimpin perjuangan kemerdekaan lebih mengedepankan perjuangan fisik, ia tidak lupa dengan kondisi masyarakat yang masih belum memiliki kesadaran intelektual tinggi, yang tidak sekadar membutuhkan semangat perjuangan dari orasi pemimpin perjuangan, tapi juga membutuhkan acuan perjuangan, panduan perjuangan, penyemangat perjuangan dalam bentuk tertulis yang lebih tahan lama dan dapat diwariskan dari orang ke orang lain, dari generasi ke generasi.
Namun semua yang dilakukan Tan Malaka harus di bayar mahal, rezim berkuasa yang merasa terganggu dan khawatir dengan pikiran-pikiran Tan Malaka dapat mengganggu stabilitas nasional kemudian menenggelamkan dirinya dari pentas sejarah bangsa. Antipati pemerintah terdahulu (Orde Baru) terhadap Tan Malaka agaknya karena karya-karyanya banyak didasarkan pada paradigma berpikir Marxian, sedangkan gagasan-gagasan itu relatif dekat dan bahkan menginspirasi komunisme, stalinisme, leninisme.  Hal tersebut menjadikan rezim berkuasa melarang karya–karyanya dibaca kalangan umum dan menenggelamkan peranan dalam perjuangan kemerdekaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar