Pengikut

Minggu, 18 Desember 2016

Paradigma Filsafat Hukum


Sebagaimana dimaklumi, Filsafat Hukum pada dasarnya berintikan pembahasan tentang berbagai aliran Filsafat Hukum. Sementara itu, salah satu upaya pengembangan landasan berpikir baru di dalam lingkup Filsafat, termasuk Filsafat Hukum, adalah diadopsinya gagasan tentang ‘paradigma’, yang diperkenalkan pertama-kali ke pada ‘sain’ (science) oleh teoritisi fisika Thomas S. Kuhn di awal dekade 60-an. Dalam konteks ini, ‘paradigma’ dapat dipahami sebagai sebuah disciplinary matrix, yakni suatu pangkal atau sumber sekaligus wadah, dari mana suatu disiplin ilmu pengetahuan dianggap bermula dan diharapkan akan terus mengalir. Kata ‘paradigma’ atau paradigm itu sendiriditurunkan dari kata campuran, gabungan, atau amalgamasi dalam bahasa Yunani paradeigma. Dalam hal ini para berarti ‘di sebelah’, ‘di samping’, ‘di sisi’, ‘berdampingan’, atau ‘di tepi’, sedangkan deiknunai atau deigma bermakna ‘melihat’ atau ‘menunjukkan’.
Di dalam komunitas ilmiah, ‘paradigma’ antara lain dipandang sebagai keseluruhan konsep yang diterima oleh sebagian besar anggota suatu komunitas intelektual sebagai sebuah ‘sain’ (science), dikarenakan ke-efektif-annya di dalam menjelaskan suatu proses, ide, atau sekumpulan data yang kompleks. Lebih daripada sekedar kumpulan teori, paradigma mencakup berbagai komponen praktek praktek ilmiah di dalam sejumlah bidang kajian yang ter-spesialiasi. Paradigma juga akan, di antaranya, menggariskan tolok ukur, mendefinisikan standar ketepatan yang dibutuhkan, menetapkkan metodologi penelitian mana yang akan dipilih untuk diterapkan, atau cara bagaimana hasil penelitian akan di interpretasi. Ini berarti, makna paradigma meliputi keseluruhan koleksi, kombinasi, gabungan, atau campuran dari komitmen yang dianut dan diterapkan oleh anggota-anggota suatu komunitas ilmu pengetahuan secara bersama-sama, yang, untuk waktu tertentu, menawarkan model permasalahan berikut pemecahan-nya kepada komunitas dimaksud. Secara tipikal paradigma mendefinisikan bagi penganut atau pemakainya, baik disadari maupun tidak, apa yang dapat dianggap/diterima sebagai bidang, disiplin, atau cabang ilmu pengetahuan vang digeluti sekaligus bagaimana cara mereka mewujudkan karya dan karsa mereka di dalam-nya. Pada tataran inilah berbagai konsep paradigma yang lebih formal disadari, direnungkan dan diperdebatkan . Dalam kaitan ini, ilmu hukum, ilmu sosial, atau bidang ilmu lainnya, sebenarnya bisa dikatakan mengakui adanya lebih dari satu paradigma atau ‘multi¬paradigmatik’. Dalam hal ini, multi-paradigmatik dimaknai sebagai ‘me-refleksi-kan interpretasi berbagai pokok persoalan dari bidang bidang ilmu dimaksud secara majemuk, bervariasi, bahkan tidak jarang berseberangan’. Paradigma dengan demikian merupakan sebuah konsep ―seringkali diasumsikan atau dianut begitu saja tanpa disadari― yang memungkinkan seseorang atau sekelompok masyarakat [katakanlah masyarakat ilmiah, begitu] untuk melihat dan memahami dunia dengan segala isinya. Dengan demikian, paradigma sesungguhnya adalah bukan pikiran (thought) yang kita miliki, melainkan kerangka [berpikir] (framework) di mana pikiran kita dibentuk dan dibangun. Demikianlah, aliran Filsafat [Hukum] pada galibnya tidak sama dengan paradigma. Setiap aliran Fisafat [Hukum] sebenarnya merupakan bagian ―dan bisa dikatakan pengejawantahan atau terlahir atau berakar― dari suatu paradigma tertentu. Paradigma dalam kaitan ini diyakini dapat memberikan manfaat berupa pemahaman tentang nuansa atau gradasi perbedaan di antara berbagai aliran Filsafat Hukum, yang dipilah ke dalam pola yang ada sesuai dengan paradigma masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar