Sebagaimana dimaklumi, Filsafat Hukum pada dasarnya berintikan pembahasan tentang berbagai aliran Filsafat Hukum. Sementara itu, salah satu upaya pengembangan landasan berpikir baru di dalam lingkup Filsafat, termasuk Filsafat Hukum, adalah diadopsinya gagasan tentang ‘paradigma’, yang diperkenalkan pertama-kali ke pada ‘sain’ (science) oleh teoritisi fisika Thomas S. Kuhn di awal dekade 60-an. Dalam konteks ini, ‘paradigma’ dapat dipahami sebagai sebuah disciplinary matrix, yakni suatu pangkal atau sumber sekaligus wadah, dari mana suatu disiplin ilmu pengetahuan dianggap bermula dan diharapkan akan terus mengalir. Kata ‘paradigma’ atau paradigm itu sendiriditurunkan dari kata campuran, gabungan, atau amalgamasi dalam bahasa Yunani paradeigma. Dalam hal ini para berarti ‘di sebelah’, ‘di samping’, ‘di sisi’, ‘berdampingan’, atau ‘di tepi’, sedangkan deiknunai atau deigma bermakna ‘melihat’ atau ‘menunjukkan’.
Di dalam komunitas ilmiah, ‘paradigma’ antara lain dipandang
sebagai keseluruhan konsep yang diterima oleh sebagian besar anggota suatu
komunitas intelektual sebagai sebuah ‘sain’ (science), dikarenakan ke-efektif-annya
di dalam menjelaskan suatu proses, ide, atau sekumpulan data yang kompleks.
Lebih daripada sekedar kumpulan teori, paradigma mencakup berbagai komponen
praktek praktek ilmiah di dalam sejumlah bidang kajian yang ter-spesialiasi.
Paradigma juga akan, di antaranya, menggariskan tolok ukur, mendefinisikan
standar ketepatan yang dibutuhkan, menetapkkan metodologi penelitian mana yang
akan dipilih untuk diterapkan, atau cara bagaimana hasil penelitian akan di
interpretasi. Ini berarti, makna paradigma meliputi keseluruhan koleksi,
kombinasi, gabungan, atau campuran dari komitmen yang dianut dan diterapkan
oleh anggota-anggota suatu komunitas ilmu pengetahuan secara bersama-sama,
yang, untuk waktu tertentu, menawarkan model permasalahan berikut pemecahan-nya
kepada komunitas dimaksud. Secara tipikal paradigma mendefinisikan bagi
penganut atau pemakainya, baik disadari maupun tidak, apa yang dapat
dianggap/diterima sebagai bidang, disiplin, atau cabang ilmu pengetahuan vang
digeluti sekaligus bagaimana cara mereka mewujudkan karya dan karsa mereka di
dalam-nya. Pada tataran inilah berbagai konsep paradigma yang lebih formal
disadari, direnungkan dan diperdebatkan . Dalam kaitan ini, ilmu hukum, ilmu
sosial, atau bidang ilmu lainnya, sebenarnya bisa dikatakan mengakui adanya
lebih dari satu paradigma atau ‘multi¬paradigmatik’. Dalam hal ini,
multi-paradigmatik dimaknai sebagai ‘me-refleksi-kan interpretasi berbagai
pokok persoalan dari bidang bidang ilmu dimaksud secara majemuk, bervariasi,
bahkan tidak jarang berseberangan’. Paradigma dengan demikian merupakan sebuah
konsep ―seringkali diasumsikan atau dianut begitu saja tanpa disadari― yang
memungkinkan seseorang atau sekelompok masyarakat [katakanlah masyarakat
ilmiah, begitu] untuk melihat dan memahami dunia dengan segala isinya. Dengan
demikian, paradigma sesungguhnya adalah bukan pikiran (thought) yang kita
miliki, melainkan kerangka [berpikir] (framework) di mana pikiran kita dibentuk
dan dibangun. Demikianlah, aliran Filsafat [Hukum] pada galibnya tidak sama
dengan paradigma. Setiap aliran Fisafat [Hukum] sebenarnya merupakan bagian
―dan bisa dikatakan pengejawantahan atau terlahir atau berakar― dari suatu
paradigma tertentu. Paradigma dalam kaitan ini diyakini dapat memberikan
manfaat berupa pemahaman tentang nuansa atau gradasi perbedaan di antara
berbagai aliran Filsafat Hukum, yang dipilah ke dalam pola yang ada sesuai
dengan paradigma masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar