Pepatah lama mengatakan “banyak jalan menuju Roma”, Untuk menggambarkan tentang cara atau metode apapun dalam mencapai segala tujuan. Sebuah tujuan kaitanya dengan pembahasan ini adalah untuk mengungkap hakikat realitas yaitu kebenaran sejati. Diantara jalan untuk mencapai tujuan tersebut seperti yang telah dikelompokkan oleh pemikir Islam terdahulu adalah melalui ilmu agama (irfan, teologi) dan filsafat[1]. Adapula pemikir lain yang pandanganya lebih empiris mengelompokkan-Nya menjadi ilmu sains, filsafat dan mistik[2]. Yang masing-masing cabang ilmu ini memiliki metode tersendiri dalam menemukan hakikat ilmu atau kebenaran sejati.
Telah kita ketahui bahwa Islam sebagai agama yang memiliki
banyak dimensi, yaitu dimensi keimanan, akal pikiran, ekonomi, politik, ilmu
pengetahuan dan teknologi, sejarah, dan masih banyak lagi. Namun agar kita
mengetahui berbagai dimensi tersebut jelas memerlukan berbagai pendekatan yang
digali dari berbagai disiplin ilmu[3]. Filsafat dan teologi atau yang biasa
disebut ilmu kalam adalah dua disiplin ilmu yang sama-sama membahas kebenaran
dan sama-sama memakai mediasi rasional untuk membahas kebenaran agama. Maka
dari itu tentu akan sangat menarik jika kita bisa mengkaji lebih dalam tentang
metode kedua disiplin ilmu ini didalam mengungkap kebenaran.
Teologi adalah disiplin ilmu yang mencoba merefleksikan
hubungan Allah dan manusia. Manusia berteologi karena ingin memahami imannya
dengan cara lebih baik, dan ingin mempertanggungjawabkannya: “aku tahu kepada
siapa aku percaya”. Teologi bukan agama dan tidak sama dengan Ajaran Agama.
Dalam teologi, adanya unsur penyelidikan akal terhadap isi iman yang diharapkan
memberi sumbangan substansial untuk integrasi akal dan iman, iptek (ilmu
pengetahuan dan teknologi) dan imtaq (iman dan taqwa), yang pada gilirannya
sangat bermanfaat bagi hidup manusia masa kini.
Tentu saja pengertian ini akan menjelaskan juga tentang
makna filsafat didalam islam, yang artinya teologi adalah filsafat metafisika
agama islam. Karena mediasi dan metode yang digunakan hampir sama atau
bersinggungan, yaitu mediasi akal untuk mengklarifikasi kebenaran iman yang
dilandasi pada firman tuhan yaitu wahyu, sehingga dalam hal-hal tertentu
terjadi hubungan timbal balik yang cukup baik antara teologi dan filsafat.
Hubungan timbal balik ini bukan berarti keduanya bisa terus
berjalan harmonis. Yang sering muncul justru perbedaan-perbedaan, ketegangan
dan pertentangan, bahkan itu terjadi sejak awal. Setidaknya ini bisa dilihat
pada perdebatan antara Abu Sa`id al-Syirafi (893-979 M) seorang teolog
Muktazilah dengan Abu Bisyr Matta (870-940 M), guru filsafat al-Farabi yang
beraliran Nestorian, sebagaimana yang dikemukakan Oliver Leaman, adalah bukti
nyata akan hal itu, meski isi perdebatan tersebut sebenarnya baru menyangkut
persoalan bahasa dan logika. Hinga pada akhirnya pertentangan antara teologi
dan filsfat ini semakin memanas pada masa Al-Ghazali (1058-1111 M). Al-Ghazali
mengkritik filsafat paripatetik didalam karyanya yang paling fenomenal yaitu
Tahafut al-falasifah, yang mengakibatkan sebagian besar umat islam pada waktu
itu mengkafirkan filsafat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar