1.
Masalah hukum dan kekuasaan.
Dalam sebuah penerapan hukum
disuatu negara maka diperlukan suatu kekuasaan untuk mendukungnya guna
tercapainya efektifitas sebuah produk hukum, sehingga kekuasaan diperlukan guna
penegakkan hukum yang bersifat memaksa. Maka baik buruk suatu kekuasaan,
tergantung bagaimana kekuasaan tersebut dipergunakan sehingga dapat dilihat
dari kebermanfaatannya atau disadari dalam kehidupan masyarakat. Unsur pemegang
kekuasaan adalah merupakan faktor terpenting dalam penggunaan kekuasaan yang
sesuai kehendak atau norma-norma dalam masyarakat. Penguasa yang baik memiliki
berbagai sifat seperti jujur dan adanya pengabdian pada masyarakat. Sehingga
diperlukan pembatasan dalam kekuasaan, kesadaran hukum masyarakat adalah
pembatasan yang paling ampuh bagi pemegang kekuasaan. Hukum dan kekuasaan
merupakan hubungan erat tidak dapat dipisahkan. Peperzak mengatakan hubungan
hukum dan kekuasaan dapat diperlihatkan ada dua cara;[8] (a) pertama; telaah
dkonsep sanksi. Legitimasi yuridis (pembenaran hukum) dalam sanksi sangat perlu
sehingga system aturan hukum dapat berdaya guna serta berhasil dalam
penerapannya diperlukan eksistensi kekuasaan (force) dengan dukungan tenaga.
(b) kedua; telaah konsep penegakan kanstitusi. Penegaka konstitusi adalah
merupakan penegakan procedur dalam pembinaan hukum dengan mengasumsikan
digunakannya force, guna pelindung terhadap system aturan-aturan hukum untuk
kepentingan penegakannya. Force dapat diwujudkan dalam betuk adalah sebagai
berikut keyakinan moral masyrakat, consensus rakyat, karismatik pemimpin,
kekuasaan merupakan kekuasaan.
2.
Hukum adalah alat pembaruan dalam
masyarakat.
Roscoe Pound mengutarakan hukum adalah
sebagai alat pembaruan dalam masyarakat dalam bukunya “An Introduction to the
Philosophy of Low” (1954).[9] Dan dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja
disesuaikan dengan situasi dan kondisi negara Indonesia yaitu konsep ” Law as a
tool of sacial engineering” yang merupakan inti dari aliran Pragmatic Legal
Realism. Konsep tersebut adalah merupakan penyesuaian antara situasi kondisi
Indonesia dengan filsafat budaya Northrop dan Policyoriented dari Laswell dan
Mc Dougal. Hukum adalah “sarana” pembaruan dalam masyarakat Indonesia luas
jangkauannya dan ruang lingkupnya di Amerika Serikat tempat kelahirannya.
Sehingga hukum yang digunakan dalam pembaharuan berupa undang-undang atau yurisprudensi
atau kombinasi antar keduanya. Agar pelaksanaan perundang-undangan bertujuan
pembaruan sebagaimana mestinya hendaknya perundang-undangan dibentuk sesuai
dengan inti aliran Sociological Jurisprudence yaitu hukum sesuai dengan hukum
yang hidup dalam masyarakat (living law) atau (dapat dikatakan pencerminan
narma-norma dalam masyarakat), guna pembaruan serta menguban sikap mental
masyarakat tradisional kea rah modern. Sebagai contoh keharusan pembuatan
sertifikat tanah dan lain sebagainya.
3.
Hukum dan nilai-nilai social budaya.
Hukum dan nilai-nilai social budaya
mempunyai kaitan erat, sebagai mana dikemukakan perintis ahli antropologi hukum
seperti Sir. Henry Maine,A.M. Post dan Yosef Kohler maupun Malinowski dan
R.H.Lowie di abad ini.[10] Dalam kaitan eratnya hukum dan social budaya
masyarakat, maka hukum yang baik adalah hukum yang tercipta atas pencerminan
nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Bangsa kita pada saat
ini dalam massa transisi atas terjadinya perubahan nilai-nilai dalam masyarakat
yang tradisional ke nilai-nilai yang modern, akan tetapi masih banyak persoalan
nilai-nilai manakah yang hendak ditinggalkan dan nilai-nilai baru manakah yang
dapat digantikannya. Berkenaan dengan hal tersebut Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan
beberapa hambatan utama pengunbahan identik dengan kepribadian nasional, sikap
intlektual, dan pimpinan masyarakat tidak mempraktekkan nilai-nilai
hetrogenitas bangsa Indonesia.
4.
Apakah sebabnya orang menaati hukum?.
Hukum dapat ditaati oleh masyarakat dapat di
telaah hukum tersebut ditaati karena dibuat oleh pejabat yang berwenang atau
atas kesadaran masyarakat karena atas dasar nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat. Berkenaan pernyataan diatas tersebut, maka terdapat teori penting
yang dapat ditelaah atas ketaatan masyarakat terhadap hukum, adalah sebgai
berikut; (a) Teori Kedaulatan Tuhan/Teokrasi (Allah), yang bersifat langsung
(Tuhan) atau tidak langsung (Penguasa adalah tangan Tuhan), (b) Teori
Perjanjian Masyarakat, sebagaimana diungkapkan oleh para pakar filsafat hukum;
Hugo de Groot (Grotius) (1583-1645) “Orang taat dan tunduk pada hukum oleh
karena benjanji untuk menaatinya”, Thomas Hobbes (1588-1679), “Hukum timbul
karena perjanjian pada waktu manusia dalam keadaan berperang guna terciptanya
suasana damai antar mereka dan disusul dengan perjanjiaan semuanya dengan
seseorang yang hendak diserai dengan kekuasaan yang bersifat absolute”, John
Locke (1631-1705), “Kekuasaan raja yang dibatasi oleh konstitusi”, JJ Rousseau
(1712-1778), “Kekuasaan yang dimiliki anggota masyarakat tetap berada pada
individu-individu dan tidak diserahkan pada orang tertentu secara mutlak atau
dengan persyaratan tertentu (pemerintahan demokrasi)” (c) Teori Kedaulatan
Negara, Hans Kelsen menyebutkan bahawa “orang tunduk pada hukum karena wajib
mentaatinya karena hukum adalah kehendak negara” (d) Teori Kedaulatan Hukum,
hukum mengikat bukan kearena negara mengendakinya, melainkan karena perumusan
dari kesadaran hukum rakyat. Berlakunya hukum karena nilai batinya yaitu yang
menjelma di dalam hukum itu (Prof. Mr. H. Krabbe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar