Kepemimpinan Inspiratif
Di dalam semua proses ini, peran
pemimpin amatlah besar. Tentu saja bukan sembarang pemimpin, melainkan pemimpin
yang memiliki karakter kepemimpinan. Dari sudut pandang filsafat, saya melihat
setidaknya ada tujuh dimensi kepemimpinan yang mesti ada.
Yang pertama adalah kepemimpinan
yang inspiratif. Tugas utama seorang pemimpin adalah memberikan inspirasi pada
orang untuk bekerja mewujukan hal-hal hebat dengan sumber daya yang terbatas.
Kata-kata dan tindakannya menjadi teladan yang memberikan harapan sekaligus
semangat bagi orang-orang yang bekerja untuk maupun bersamanya.
Di Indonesia banyak pemimpin tak
mampu memberikan inspirasi. Kata-kata maupun tindakannya justru mematikan
semangat maupun harapan orang-orang yang bekerja bersama maupun untuknya. Tak
heran sulit sekali mencari produk unggul di Indonesia, baik material maupun imaterial.
Yang ada hanyalah warisan masa lampau, dan bukan hasil karya sekarang.
Para pemimpin di Indonesia di
berbagai bidang harus mulai mengasah dirinya, sehingga mampu memberikan
inspirasi pada orang-orang sekitarnya. Kata-kata, pikiran, maupun tindakannya
harus menjadi contoh yang membuat orang-orang sekitarnya ingin berubah menjadi
lebih baik. Tanpa kemampuan memberikan inspirasi, seorang pemimpin tidak layak
disebut sebagai pemimpin. Ia hanya seorang administrator.
Pemimpin Visioner
Seorang pemimpin juga perlu untuk
memiliki visi ke depan. Ia perlu menggunakan imajinasinya, guna membayangkan
apa yang ingin ia capai di masa depan bersama dengan organisasinya. Organisasi
itu sendiri memiliki beragam bentuk, mulai dari keluarga, RT, RW, kecamatan,
universitas, kantor, rumah sakit, dan bahkan tingkat negara.
Di Indonesia kita amat sulit
menemukan seorang pemimpin yang visioner. Yang banyak ditemukan adalah pemimpin
opurtunis yang berusaha meraup keuntungan pribadi, ketika ia menjabat sebagai
pemimpin di berbagai organisasi. Visi organisasi tidak dipikirkan, sehingga
organisasi itu hanya berjalan di tempat, bahkan mundur di dalam soal kinerja.
Tak heran banyak organisasi, termasuk pada level nasional, tidak berjalan
sebagaimana mestinya.
Para pemimpin di Indonesia harus
ingat, bahwa mereka harus mampu membayangkan arah dari berbagai organisasi yang
mereka pimpin. Bayangan itulah visi ke depan yang harus dibagikan ke seluruh
elemen organisasi, dan dihayati sebagai visi bersama. Ia harus memiliki
keyakinan, bahwa visi tersebut mungkin untuk diwujudkan demi kebaikan bersama.
Jika ia mampu bertindak seperti itu, maka namanya akan abadi, dan jasanya akan
dikenang sebagai orang yang mampu membawa kebaikan bagi masyarakatnya.
Pemimpin yang Taktis
Seorang pemimpin juga harus
memiliki taktik yang jitu untuk mewujudkan visinya. Ia harus mampu
menerjemahkan inspirasi dan visi yang ia punya menjadi program-program yang
praktis, serta terukur keberhasilannya. Ia tidak boleh hanya bicara besar,
namun tak bisa bekerja.
Di Indonesia banyak pemimpin
tampak inspiratif dan visioner. Namun itu hanya tampaknya saja. Sejatinya
mereka tak bisa bekerja. Mereka hanya berbicara bijak, namun tak punya program
nyata yang memiliki hasil terukur. Akibatnya mereka dianggap sebagai pemimpin yang
omong besar, namun tak punya hasil nyata di lapangan.
Maka tak cukup hanya visi dan
inspirasi semata. Seorang pemimpin perlu menjadi seorang manajer yang bisa
menerjemahkan visi dan inspirasi ke dalam program-program nyata yang memiliki
tingkat keberhasilan terukur. Inspirasi dan visi perlu untuk memiliki otot dan
kaki, sehingga keduanya menjadi sungguh nyata, dan memberikan kebaikan untuk
semua.
Pemimpin yang Reflektif
Program yang tepat tidak cukup.
Yang juga diperlukan adalah jaminan, bahwa program itu akan terlaksana, dan
tujuannya sungguh tercapai. Maka seorang pemimpin perlu rutin melakukan
refleksi, yakni tindakan untuk melihat ulang seluruh proses yang terjadi, baik
proses di luar, maupun proses yang terjadi di dalam dirinya.
Di Indonesia sulit sekali mencari
pemimpin yang reflektif. Memang ada pemimpin yang inspiratif, visioner, dan
memiliki strategi yang jelas serta terukur, walaupun jumlahnya sedikit sekali,
namun ia tak memiliki kemampuan untuk melakukan refleksi. Akibatnya program
berjalan namun tak ada kontrol kualitas yang jelas. Tujuan dari program yang
menggendong inspirasi dan visi itu pun akhirnya tak tercapai.
Seorang pemimpin perlu untuk
melihat seluruh proses kinerja organisasinya, sekaligus gerak jiwanya sendiri.
Ia perlu menjadi seorang pemimpin yang reflektif. Hanya dengan begini tujuan
berbagai program yang menampung inspirasi dan visinya bisa terwujud. Hanya
dengan begini berbagai tindakannya bisa bermakna untuk semua.
Pemimpin yang Terbuka
Pemimpin yang sejati memiliki
sikap dan sifat yang terbuka. Ia mampu menerima perbedaan pendapat. Ia mampu
menerima perbedaan pandangan hidup. Ia melihat kritik sebagai tanda cinta yang
perlu untuk dihargai.
Di Indonesia jika orang sudah
menjadi pemimpin, maka ia berubah menjadi arogan. Ia merasa lebih tinggi
daripada orang-orang yang ia pimpin. Ia seolah lupa akan tugasnya untuk
melayani organisasi yang ia pimpin. Ia pun berubah menjadi penindas yang
memikirkan semata keuntungan dan kejayaan pribadinya.
Indonesia memiliki keuntungan
yang amat besar, karena terdiri dari berbagai agama, suku, ras, dan pandangan
hidup yang beragam. Para pemimpin harus melihat keberagaman itu sebagai potensi
untuk menciptakan kemajuan serta kesejahteraan bersama. Ia harus berpikir dan
bersikap terbuka, sehingga mampu menampung kekuatan dari berbagai elemen yang
ada.
Pemimpin yang Fleksibel
Salah satu tanda nyata dari sikap
terbuka adalah fleksibilitas. Seorang pemimpin harus memastikan, bahwa
birokrasi dari organisasi yang ia pimpin tetap fleksibel untuk berbagai “perkecualian
yang masuk akal”. Prinsip yang ia harus pegang adalah; birokrasi ada untuk
melayani manusia, dan bukan manusia dibuat repot untuk melayani birokrasi yang
tanpa makna.
Di Indonesia banyak birokrasi
organisasi justru membuat repot banyak orang. Mereka tercekik oleh berbagai
persyaratan yang tak masuk akal. Walaupun pemimpinnya hebat namun bila
birokrasinya justru mencekik orang, maka semuanya jadi terasa percuma. Tujuan
organisasi pun akhirnya menjadi tak terlaksana.
Maka sekali perlu ditegaskan, bahwa
birokrasi ada untuk melayani manusia. Para pemimpin perlu untuk memastikan,
bahwa hal inilah yang terjadi, bukan sebaliknya. Birokrasi perlu untuk mencapai
standar kemasukakalan, dan tak boleh terjebak pada pola berpikir “karena
peraturannya begitu”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar