a. Asas Empirisme
Secara harfiah , arti empirisme dari kata Yunani emperia
yang berarti pengalaman.Aliran empirisme bertolak dari Lockean Tradition yang
mementingkan stimulasi eksternal dalam perkembangan manusia, dan menyatakan
bahwa perkembangan manusia, dan menyatakan bahwa perkembangan anak tergantung
kepada lingkungan, sedangkan pembawaan tidak dipentingkan. Pengalaman yang
diperoleh anak dalam kehidupan sehari – hari perintisnya adalah John Locke (
1632-1704), dia mengagumi metode Descrates, tetapi ia tidak menyetujui isi
ajarannya. Menurut Locke, rasio mula-mula harus dianggap” as a white paper” dan
seluruh isinya dari pengalaman. Ada dua pengalaman : lahiriyah ( sensation )
dan batiniyah ( reflexion). Kedua sumber pengalaman ini menghasilkan ide-ide
tunggal ( simple ideas ). Jiwa manusiawi bersifat pasif sama sekali dalam
menerima ide-ide tersebut.
Jika hal empirisme di bawa ke ranah pendidikan maka
empirisme mempunyai pengertian yang lebih spesifik. Bahwasanya hasil pendidikan
dan perkembangan itu bergantung pada pengalaman-pengalaman yang diperoleh anak
didik selama hidupnya. Pengalaman itu diperolehnya di luar dirinya berdasarkan
perangsang yang tersedia baginya. John Locke berpendapat bahwa anak yag di
dunia ini sebagai kertas kosong atau sebagai meja berlapis lilin (Tabula Rasa)
yang belum ada tulisan di atasnya.
Hal ini
berarti, baik dan buruknya anak tergantung pada baik dan buruknya pendidikan
yang diterimanya. Menurut J.J. Rausseau (1712-1778) bahwa manusia pada dasarnya
baik sejak ia dilahirkan. Jadi kalau ada manusia yang jahat bukan karena
benihnya, tetapi dikembangkan setelah ia lahir, yakni setelah ia hidup di
masyarakat dan setelah terpengaruh oleh lingkungan serta kebudayaan. Menurut
Mensius ( 372-289 SM), yang menyatakan bahwa manusia pada dasarnya baik,
sehingga cinta pada dasarnya lebih pengertian yang dangkal. Menurut H. Sun Tzu
(289-230 SM) bahwa manusia pada dasarnya adalah jahat, akan tetapi untunglah
manusia juga cerdas dan dengan kecerdasannya ia dapat mengolah kebaikan yang
ada pada dirinya. Ia menjadi manusia yang baik karena ia bergaul dengan
masyarakat. Jadi manusia itu menjadi baik bukan karena benihnya, tetapi karena
hidup dan bergaul dengan masyarakat.
b. Asas Nativisme
Asas nativisme bertolak denan teori empirisme yang dianut
oleh Schopenhauer (seorang filosuf bangsa Jerman, 1788-1860) yang berpendapat
bahwa bayi lahir dengan pembawaan yang baik dan pembawaan yang buruk. Dalam
hubungannya dengan pendidikan dan perkembangan manusia, ia berpendapat bahwa
hasil akhir pendidikan dan perkembangan itu ditentukan oleh pembawaan yang
sudah diperolehnya sejak lahir. Asas Nativisme berpendapat bahwa pendidikan
tidak dapat menghasilkan tujuan yang diharapkan berhubungan dengan perkembangan
anak didik. Aliran pendidikan yang menganut paham nativisme ini disebut aliran
pesimisme.
Dengan kata lain, Nativisme merupakan aliran pesismisme
(murung) dalam pendidikan. Berhasil tidaknya perkembangan anak tegantung pada
tinggi rendahnya dan jenis pembawaan yang dimiliki oleh anak didik.
Lingkungan tidak berarti apa-apa dalam perkembangan manusia,
apa yang dikerjakan, apa yang diucapkan, dan apa yang dipikirkan merupakan
kecakapan yang dibawa sejak lahir, tetapi nativisme tidak menjelaskan bagaimana
seorang lahir dengan membawa potensi, apakah potensi itu mempunyai hubungan
sangat erat dengan kondisi orang tua atau tidak, selama ini tidak pernah ada
penjelasan. Apabila orang tuanya mempunyai IQ tinggi atau mempunyai IQ rendah
akan dapat berpengaruh kepada anaknya. Dalam beberapa penelitian menyimpulkan
bahwa anak sangat dipengaruhi oleh keadaan orang tua, baik keadaan fisik,
psikis, maupun sosial-ekonominya.
c. Asas
Konvergensi
Aliran konvergensi dipelopori oleh William Stern (seorang
ahli pendidikan bangsa Jerman, 1871-1939), ia berpendapat bahwa seorang anak
dilahirkan di dunia sudah disertai pembawaan baik maupun buruk. Proses
perkembangan anak, baik faktor pembawaan maupun faktor lingkungan sama – sama
mempunyai peranan sangat penting. Bakat yang dibawa pada waktu lahir tidak akan
berkembang dengan baik tanpa dukungan lingkungan sesuai untuk perkembangan anak
itu.
Apabila pengaruh lingkungan sama besar dan kuatnya dengan pembawaan siswa, maka hasil
pendidikan didapat siswa itu pun akan seimbang dan baik, dalam arti tidak satu
faktor pun yang dikorbankan secara sia-sia. Seterusnya, apabila pengaruh
lingkungan lebih besar dan lebih kuat dari pembawaan, hasil pendidikan siswa
hanya akan sesuai dengan kehendak lingkungan, dan pembawaan (watak dan bakat)
siswa tersebut akan terkorbankan. Sebaliknya, jika pembawaan siswa lebih besar
dan kuat pengaruhnya daripada lingkungan, hasil pendidikan tersebut hanya
sesuai dengan bakat dan kemampuannya tanpa bisa berkembang lebih jauh, karena
ketidakmampuan lingkungan. Oleh karena itu, terlalu kecilnya pengaruh
lingkungan pendidikan, misalnya mutu guru dan fasilitas yang rendah akan
merugikan para siswa yang membawapotensi dan bakat yang baik.
Oleh karena itu William Stern disebut teori Konvergensi
artinya memuat ke suatu titik. Jadi menurut teori konvergensi ini adalah
sebagai berikut:
1. Pendidikan
mungkin diberikan.
2. Yang membatasi
hasil pendidikan adalah pembawaan dan ligkungan itu sendiri.
3. Pendidikan
diartikan sebagai penolong atau pertolongan yang diberikan kepada lingkungan
anak didik untu mengembangkan pembawaan yang baik dan mencegah berkembangnya
pembawaan yang buruk.
Sebagai contoh, benarkah jika kita mengatakan ‘si Mizan adalah
merupakan hasil dari pembawaan dan lingkungannya si Mizan?. Ketika jawabannya
‘benar’, maka seolah-olah si Mizan itu ‘hanya’ merupakan hasil dari proses alam
yaitu pembawaan dan lingkungan belaka. Jika pembawaannya begini dan
lingkungannya begitu, maka manusia akan demikian pula. Jika demikian halnya,
maka apa bedanya dengan proses mencari hasil dari ‘angka-angka’ dalam
pengetahuan matematika?. Kalau memang proses perkembangan manusia sama halnya
dengan rumus-rumus pengetahuan matematika, maka dapat dipastikan bahwa tugas
guru (ahli pendidik) akan lebih mudah yaitu tinggal mencari jalan untuk
mengetahui pembawaan seseorang (kalau saja pembawaan itu dapat diketahui dengan
pasti), dan kemudian mengusahakan suatu lingkungan atau pendidikan yang cocok
(relevan) dengan pembawaan tersebut.
Sekali lagi, proses perkembangan binatang dengan manusia
tidaklah dapat disamakan. Sebab perkembangan binatang adalah merupakan hasil
dari pembawaan dan lingkungannya, binatang hanya ‘terserah’ pada pembawaan
keturunan dan pengaruh lingkungannya. Dimana perkembangan pada binatang
seluruhnya ditentukan oleh kodrat dan hukum-hukum alam. Sementara manusia tidak
hanya dari pembawaan dan lingkungannya, melainkan manusia lebih memiliki
pengalaman ‘empirik’ yang dapat mempengaruhi perkembangannya.
Dengan berpijak pada uraian di atas, maka nyatalah bagi kita
bahwa jika ditanya tentang ‘perkembangan manusia itu bergantung pada pembawaan
ataukah kepada lingkungan?’, atau manakah yang lebih dasar atau lebih kuat
mempengaruhi perkembangan manusia itu?. Maka kita dapat mengatakan bahwa itu
bukanlah bentuk pertanyaan yang perlu dicari jawabannya, sebab hal itu adalah
merupakan suatu pertanyaan yang tidak ada jawabannya. Begitu juga W. Stern
tidak menerangkan seberapa besar perbandingan pengaruh kedua faktor tersebut
dan hingga dewasa ini dominasi pengaruh kedua faktor itu belumlah dapat
ditetapkan.
Sesuai dengan corak dan karakteristik sosiologi, diantara
tiga asas filsafat pendidikan dan teori perkembangan sosial di atas yang sabgat
mendukung adalah teori empirisme. Di Amerika telah diselidiki seorang anak
bernama Anna yang hidup terpencil di daerah Attic, Pensyilvanea di rumah
seorang petani sejak umur 6 bulan sehingga umur 5 tahun. Setelah dipindah ke
rumah biasa, Anna mulai belajar bahasa, mulai tertarik dengan anak lain dan
turut bermain dengan anak-anak normal lainnya. Perubahan tingkah laku Anna
karena berhubungan dengan lingkungannya dan pengalaman Anna sebelum dipindah ke
rumah yang normal juga dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar