Pengikut

Minggu, 18 Desember 2016

Paradigma Filsafat Sosiologi



1. Paradigma Moral-Teologik-Kausatif Aristotelian
Aristoteles (384-322 SM) lahir di Stagira, Yunani Utara dari ayah seorang dokter di Macedonia. Pada usia 18 tahun Aristoteles belajar di Akademi Plato di Athena dan tetap di akademi ini sampai meninggalnya Plato, kemudian kembali ke Athena mendirikan sekolah Lyceum. Karya Aristoteles antara lain tentang logika (Organon): Kategoriai; Peri Hermeneias; Analytika Protera; Analytika Hystera; Topika; dan Peri Spohistikoon.


Paradigma moral-teologik Aristoteles berpangkal pada pandangan ontologikmetafisika yang kental dengan—pengaruh gurunya yakni—pandangan idealistis dan teleologis dari Plato . Aristoteles menyatakan bahwa alam semesta diciptakan oleh sang pencipta, penyebab pertama (causa prima) yang dilengkapi oleh seperangkat sistem keteraturan dan ketertiban (order). Alam semesta merupakan adalah suatu dunia ideal, keseluruhan organis yang saling berhubungan, suatu sistem idea-idea (forms) yang abadi dan tetap. Ketertiban alam telah ditetapkan sebelumnya (pre-established) yang kesemua realitas terpusat dan ditentukan, diprogram, dan ditata oleh serba keserasian oleh sang pencipta; keserasian yang sempurna (perfect harmony), ini ditentukan oleh sang pencipta (teologik). Kesemua realitas juga tunduk kepada keselaran dan keserasian. Dalam kenyataan dunia makhluqi, wujud kenyataan Sang Causa prima adalah dalam keselaran, keharmonisan, dan keseimbangan.

Realitas adalah universal. Ia merupakan obyek yang dipilahkan dalam form (bentuk) dan matter (materi). Menurut Aristoteles, objek-objek adalah partikular sebagai substansi yang nyata: (i) meteri mengandaikan bentuk-bentuk yang berbeda tetapi bentuk permulaan tidak berubah; (ii) materi merupakan asas kebolehjadian sedangkan bentuk merupakan asas kenyataan atau actual: materi dan bentuk itu menyatu. Aristoteles menyatukan materi dan bentuk ini. Ia memasukkan sebab ke dalam tindakan (estelechy) pendekatan terhadap kesatuan dari semua benda menjadi tujuan (teleology) dari alam semesta; bentuk-bentuk adalah kekuatan yang bertujuan—yang diciptakan oleh pikiran itu sendiri; setiap organisme menjadi suatu hal melalui tindakan dari idea tujuan; bentuk dan materi merupakan suatu yang abadi. Karenanya haruslah materi tunduk pada hukum kausalitas, yang mutlak berlaku pada ciptaan tuhan, tetapi tidak berlaku pagi sang pencipta. Dengan demikian sebab (causa) itu sarat (padat) dengan nilai-nilai (values loaded).

Realitas makhluk di alam semesta ini, telah menjadi anggapan aksiomamtik bagi Aristoteles yang dipahaminya sebagai suatu keteraturan atau suatu tertib (disebut nomos atau
‘order’ dalam bahasa Inggris) yang sudah pre-establihed, dalam arti ‘sudah tercipta dan menjadi ada sejak awal mulanya’. Paradigma Aristotelian ini bertolak dari anggapan aksiomatik bahwa seluruh kenyataan alam semesta itu pada hakikatnya adalah suatu totalitas kodrati yang telah tercipta secara final dalam bentuknya yang sempurna, dan serba berkeselarasan (harmony) sejak awal mulanya. Rancang bangun ontologik Aristotelian didasarkan atas satu kausa utama (kausa prima) yang diimplementasikan dalam empat kausa. Kausa prima ada pada diri Tuhan sedangkan empat kausa lainnya berada dalam realitas selain tuhan (makhluk). Keempat kausa atau sebab itu adalah : (i) sebab bahan (material) berupa materi yakni bahan-bahan untuk membuat bangunan konstruksi rumah misalnya; (ii) sebab bentuk (forma) berupa ide tentang benda-benda alam dan juga yang dipahami oleh pikiran; (iii) sebab kerja (efisien) berupa aktivitas manusia; dan (iv) sebab tujuan (final) berupa target yang hendak dicapai atas suatu rencana kegiatan. Kaualitas ini berlaku bagi semua realitas makhluk kecuali sang causa prima. Causa prima yang menciptakan empat kausa tersebut, tetapi ia sendiri tidak perlu tunduk kepada kausalitas yang ia ciptakan.

Episteme Aristotelian—yang memahamkan semesta sebagai suatu tertib tunggal yang pre-established, finalistik, serba berkelarasan dan teleologik (<teleos=tujuan: baca kausa finalis, sebab bertujuan) yang mendalilkan kebenaran bahwa semesta ini merupakan suatu tertib kodrati yang telah sempurna, yang tidak hanya ‘tak akan dapat diganggu’ akan tetapi juga oleh sebab itu juga ‘tak boleh diganggu’, tak ayal lagi lalu dipahamkan pula sebagai suatu nomos yang sekaligus norma (ialah moral Tuhan). Implementasi dalam epistemologi, bahwa dalam ilmu pengetahuan bagi Aristoteles terbentuk dalam logika ilmiah dengan empat jenis pengetahuan; (i) definisi dan silogisme yang membahas penjelasan yang berpeluang (possibility) dan proses pembuktian; (ii) ilmu pengetahuan yang benar dengan pemikiran lurus terdiri atas (a) pengetahuan khusus yang diperoleh melalui metode silogisme (deduktif); (b) tujuan pengetahuan untuk membuktikan secara lengkap melalui serangkaian silogisme; (c) pembuktian yang valid melalui logika deduktif; (iii) sumber pengetahuan dari persepsi indra; dan (iv) dalam proses pemikiran memerlukan penguasaan konsep-konsep.
2. Paradigma Rasional Cartesian

Cartesian merupakan predikat yang disematkan kepada Rene Descartes (1596-1650), seorang filsuf dan ahli matematika Perancis yang lahir di La Haye Touraine, anak keluarga bangsawan. Dia belajar ilmu pasti dan filsafat Skolastik. Ia senang merantau antara lain ke Jerman, Belanda, Italy, dan Perancis yang kemudian menemukan ketenangan dan menetap di negeri Belanda sejak 1629-1649. Pada masa inilah Descartes banyak menulis karya ilmiah antara lain Discours de la Methode (diterbitkan 1937), Meditationes de Prima Philosophia
(1641), Principia Philosopiae (1644), dan Les Passiones de L’ame (1650). Melalui tulisantulisan tersebutlah ia kemudian terkenal dengan sebutan Cartesian.

Dalam buku Discours de la Methode (1937), Descartes mendobrak total seluruh pemikiran yang berasal dari tradisi dan otoritas dengan menempatkan rasio subjek sebagai titik pangkalnya yang menyatakan bahwa manusia yang berfikir sebagai pusat dunia. Subjektivitas Descartes mengacu pada aktivitas rasio subjek9. Ia memandang prinsip matematika sebagai paradigma dalam seluruh jenis pengetahuan manusia. Bagian dari aliran rasionalisme ini menggunakan asumsi ontologi-kosmologi yang berpandang bahwa alam memiliki struktur matematis. Descartes menolak semua kebenaran apabila tidak dapat dideduksi dengan prinsip matematika yang berangkat dari pengertian-pengertian umum yang kebenarannya tidak dapat diragukan (clear and distinct). Semua fenomena alam dapat dijelaskan dengan cara deduksi matematika. Sebagaimana dinyatakan Gordon :

”….RenĂ© Descartes, in his Discourse on Method (1637), established the mechanistic conception of the world as a fundamental philosophical principle of science. In this book, he announced the invention of analytical geometry, important in itself.” …… the conception of reality as consisting of mechanistically linked phenomena.

Epistemologi makrokosmos dan mikrokosmos. Descartes telah mematematikkan alam dan berkesimpulan bahwa alam raya (makrokosmos) adalah mesin raksasa. Alam bekerja sesuai dengan hukum-hukum mekanik. Segala sesuatu dalam alam materi dapat diterangkan sebagai tatanan dan gerakan dari bagian-bagianya. Kehidupan dan spiritualitas dalam alam raya tidak ada tujuan. Adapun manusia (mikrokosmos) juga seperti itu yang di dalamnya terdapat unsur ruh dan tubuh. Cara pandang dualisme seperti ini pada gilirannya menciptakan pola pikir yang serba dikotomis melalui logika biner.

Pada garis besarnya, fokus kajian rasionalisme Descartes adalah (i) menekankan akal budi (rasio) sebagi sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi. (ii) Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang memenuhi syarat semua pengetahuan ilmiah. (iii) Pengalaman hanya dipakai untuk mempertegas pengetahuan yang diperoleh akal. Akal tidak memperoleh pengalaman. Akal dapat menurunkan kebenaran dari dirinya, yaitu atas dasar asas-asas pertama yang pasti. Adapun ciri-ciri rasionalisme adala (i) tidak mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman hanya dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran; (ii) keyakinannya bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide, dan bukannya di dalam barang sesuatu; (iii) kebenaran bermakna sebagai keberadaan ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar