Pengikut

Kamis, 08 Juni 2017

Minggu, 18 Desember 2016

Paradigma Filsafat Sosiologi



1. Paradigma Moral-Teologik-Kausatif Aristotelian
Aristoteles (384-322 SM) lahir di Stagira, Yunani Utara dari ayah seorang dokter di Macedonia. Pada usia 18 tahun Aristoteles belajar di Akademi Plato di Athena dan tetap di akademi ini sampai meninggalnya Plato, kemudian kembali ke Athena mendirikan sekolah Lyceum. Karya Aristoteles antara lain tentang logika (Organon): Kategoriai; Peri Hermeneias; Analytika Protera; Analytika Hystera; Topika; dan Peri Spohistikoon.

Problematika Filsafat Umum




1.       Masalah hukum dan kekuasaan.
Dalam sebuah penerapan hukum disuatu negara maka diperlukan suatu kekuasaan untuk mendukungnya guna tercapainya efektifitas sebuah produk hukum, sehingga kekuasaan diperlukan guna penegakkan hukum yang bersifat memaksa. Maka baik buruk suatu kekuasaan, tergantung bagaimana kekuasaan tersebut dipergunakan sehingga dapat dilihat dari kebermanfaatannya atau disadari dalam kehidupan masyarakat. Unsur pemegang kekuasaan adalah merupakan faktor terpenting dalam penggunaan kekuasaan yang sesuai kehendak atau norma-norma dalam masyarakat. Penguasa yang baik memiliki berbagai sifat seperti jujur dan adanya pengabdian pada masyarakat. Sehingga diperlukan pembatasan dalam kekuasaan, kesadaran hukum masyarakat adalah pembatasan yang paling ampuh bagi pemegang kekuasaan. Hukum dan kekuasaan merupakan hubungan erat tidak dapat dipisahkan. Peperzak mengatakan hubungan hukum dan kekuasaan dapat diperlihatkan ada dua cara;[8] (a) pertama; telaah dkonsep sanksi. Legitimasi yuridis (pembenaran hukum) dalam sanksi sangat perlu sehingga system aturan hukum dapat berdaya guna serta berhasil dalam penerapannya diperlukan eksistensi kekuasaan (force) dengan dukungan tenaga. (b) kedua; telaah konsep penegakan kanstitusi. Penegaka konstitusi adalah merupakan penegakan procedur dalam pembinaan hukum dengan mengasumsikan digunakannya force, guna pelindung terhadap system aturan-aturan hukum untuk kepentingan penegakannya. Force dapat diwujudkan dalam betuk adalah sebagai berikut keyakinan moral masyrakat, consensus rakyat, karismatik pemimpin, kekuasaan merupakan kekuasaan.

Paradigma Filsafat Hukum


Sebagaimana dimaklumi, Filsafat Hukum pada dasarnya berintikan pembahasan tentang berbagai aliran Filsafat Hukum. Sementara itu, salah satu upaya pengembangan landasan berpikir baru di dalam lingkup Filsafat, termasuk Filsafat Hukum, adalah diadopsinya gagasan tentang ‘paradigma’, yang diperkenalkan pertama-kali ke pada ‘sain’ (science) oleh teoritisi fisika Thomas S. Kuhn di awal dekade 60-an. Dalam konteks ini, ‘paradigma’ dapat dipahami sebagai sebuah disciplinary matrix, yakni suatu pangkal atau sumber sekaligus wadah, dari mana suatu disiplin ilmu pengetahuan dianggap bermula dan diharapkan akan terus mengalir. Kata ‘paradigma’ atau paradigm itu sendiriditurunkan dari kata campuran, gabungan, atau amalgamasi dalam bahasa Yunani paradeigma. Dalam hal ini para berarti ‘di sebelah’, ‘di samping’, ‘di sisi’, ‘berdampingan’, atau ‘di tepi’, sedangkan deiknunai atau deigma bermakna ‘melihat’ atau ‘menunjukkan’.

Cara Pandang Filsafat Pendidikan Islam terhadap Tujuan Pendidikan Nasional


Menurut “Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Para filusuf mengemukakan pandangan berbeda mengenai tujuan pendidikan secara menyeluruh, antara lain:
1. Plato (427-347 SM)
Tujuan utama pendidikan adalah membina pemimpin yang sadar akan asas normative dan melaksanakannya dalam semua aspek kehidupan.

Filsafat dan Teologi dalam Pandangan Islam


Pepatah lama mengatakan “banyak jalan menuju Roma”, Untuk menggambarkan tentang cara atau metode apapun dalam mencapai segala tujuan. Sebuah tujuan kaitanya dengan pembahasan ini adalah untuk mengungkap hakikat realitas yaitu kebenaran sejati. Diantara jalan untuk mencapai tujuan tersebut seperti yang telah dikelompokkan oleh pemikir Islam terdahulu adalah melalui ilmu agama (irfan, teologi) dan filsafat[1]. Adapula pemikir lain yang pandanganya lebih empiris mengelompokkan-Nya menjadi ilmu sains, filsafat dan mistik[2]. Yang masing-masing cabang ilmu ini memiliki metode tersendiri dalam menemukan hakikat ilmu atau kebenaran sejati.

Relasi Filsafat, Ilmu, dan Agama


Antara filsafat dan ilmu memiliki tujuan yang sama, yaitu mencari kebenaran. Dari aspek sumber, filsafat dan ilmu memiliki sumber yang sama, yaitu akal atau rasio. Karena akal manusia terbatas, yang tak mampu menjelajah wilayah yang metafisik, maka kebenaran filsafat dan ilmu dianggap relatif, nisbi. Sementara agama bersumber dari wahyu, yang kebenarannya dianggap absolut, mutlak·. Dari aspek objek, filsafat memiliki objek kajian yang lebih luas dari ilmu. Jika ilmu hanya menjangkau wilayah fisik (alam dan manusia), maka filsafat menjangkau wilayah bail fisik maupun yang metafisik (Tuhan, alam dan manusia). Tetapi jangkauan wilayah metafisik filsafat (sesuai wataknya yang rasional-spikulatif)  membuatnya tidak bisa disebut absolut kebenarannya. Sementara agama (baca: agama wahyu) dengan ajaran-ajarannya yang terkandung dalam kitab suci Tuhan,  diyakini sebagai memiliki kebenaran mutlak. Agama dimulai dari percaya (iman), sementara filsafat dan ilmu dimulai dari keraguan.